Semburat lembayung semakin kentara di langit sana
menyisakan secuil kehangatan pelukan si Raja Siang. Pepohonan sudah enggan
menari meladeni seribu batalyon angin yang sejak tadi siang menggempur.
Racauan anak-anak bagai peluru-peluru yang keluar dari moncong senjata, semakin
memekakkan telinga.
"Ayo kejar aku!" anak lelaki dekil itu
menantang sahabatnya.
"Si Udin sembunyi di sana!", kata si Jabrik
pada Bejo.
"Mak…emaaaak…le Jali nakal!," teriak Wati manja,
semakin akrab dengan pamannya itu.
Orang Bule bilang siang menjelang sore itu sangat crowded,
bising, kaya pasar, seperti di kebun binatang tepatnya. Suasana seperti itu
masih saja dipertahankan dari zaman nenek moyang mereka. Tapi entah apakah
mereka tahu siapa nenek moyang mereka? "emang gue ingsinyur,
mikirin amat!". (memangnya ingsinyur mikirin nenek moyang?) Apalagi
berfikir siapa nenek moyang, berfikir siapa kakek merekapun, "peduli
amat!", "jelas saja tidak
peduli, ngapain juga mikirin monyet!".
Badan yang ia rebahkan tadi siang sekarang mulai duduk
termangu. Asmari sesekali memejamkan mata menahan kantuk yang masih
menghinggapi. Memandang ke depan, memandangi cahaya kosong, Dinding kusam,
dekil dan beberapa bagiannya dibrewoki lumut-lumut hijau. Ia sendiri tak
tahu harus menyebut warna apa bagi dindingnya, yang ia tahu dinding itu
terakhir kali dicat putih sewaktu ia menikahi Marni, ibu dari anak-anaknya
sekarang. Almari pakaian dari jati yang sudah tua, mungkin sudah diwariskan
dari nenek moyangnya, berada di sisi kanan dipan yang menopang tubuhnya saat
ini. Sisi depannya terdapat cermin, sedikit retak, mukanya menjadi dua jika
bercermin, namun tetap saja keduanya menunjukkan kepedihan. Ia duduk di atas
dipan, almari itu berada di sisi kanan, matanya melihat bayangannya di cermin,
ia sedikit malu…"ternyata aku masih memiliki muka", gerutunya.
Masih saja tangannya mengelap kelopak mata dengan raut
muka yang sulit dibayangkan, pipi yang telah diukir sayatan tikar masih
membekas, karena kasur dari kapuk yang banyak berjajar "pulau-pulau"
itu sedang dijemur di halaman depan rumah. Sayatan itu semakin menambah guratan
muka yang cekong menjadi semakin tua dari umur sesungguhnya, 35 tahun.
Namun sekali lagi yang ia lihat hanya deretan masa silam, wajah para calon
presiden yang tersenyum manja meminta simpati, terkurung di poster-poster kamar
yang kini salah satu dari mereka sudah menjadi presiden, tak juga mampu
merayunya menarik dari lamunan. Mencoba beberapa kali ia menyeret waktu ke
depan tapi tak sanggup membendung realitas yang datang. Tak bisa ia bayangkan,
dan terkadang tanpa harapan yang mampir agak lama dalam benaknya ataupun
sekedar bergelantungan pada rambutnya yang panjang tak terurus itu. Bagaimana
akan menggendong harapan jika terus ditepis realitas tak bersahabat. Mungkin
harapan hanya milik anak-anak, milik si perut buncit (tapi bukan busung lapar
lho…!), milik mereka yang menganggap kami sandal jepit, memperlakukan kami
sebagai keset yang bertuliskan "WELCOME". Ya..kami memang selalu
membuka tangan menyambut mereka, mengumbar senyum ramah, menuangkan teh di
cangkir yang dibuat dengan tangan kami, mencuci mobil mereka, pakaian, sandal, bed
cover sisa-sisa peluh, serta mencuci popok mereka, sampai akhirnya kami
membuka tangan namun mereka mengambil segalanya dari tangan kami, milik kami
digasak, dirampas, dirampok, sampai harga diri kami diinjak-injak tanpa ada
senyum ramah, tanpa jabat tangan, tanpa sambutan hangat dan tanpa nurani yang
bersahabat.
Asmari masih mendekap guling dekil dengan tangan-tangan
kurusnya. Dengan dada yang hanya terbungkus kaos singlet, semakin menunjukkan pada dunia tentang
badannya yang kurus namun seringkali menggendong kehidupan maha duka. Kopi
encer tanpa gula sudah dingin, tinggal setengah. Puntungan kretek yang tadi
siang sempat ia hisap masih tergeletak di meja kecil samping dipan reot. Kretek
itu mulai dinyalakan, asap mengepul melayang bersama harapan hampa. Mata
menghadap dinding kusam, pandangan tetap datar pada cahaya tanpa ujung, sahara
menghampar tanpa batas. Bayangan masa silam semakin erat mengikat. Teringat
kembali kenangan saat ia masih tinggal di Jakarta, sebuah kota yang baginya
bagai kereta yang tiada ampun menerjang siapapun yang menghadang, penuh
srigala-srigala lapar yang siap menerkam anak ayam (tapi kita kan anak
monyet?), berada di tengahnya dapat menyeret kita menjadi iblis berhati nurani,
selalu ragu padahal relitas menuntut kita untuk curang. Kebaikan dan kejahatan
menjadi pilihan setiap saat. Malaikat dan iblis selalu bertarung dalam ruang jiwa
yang semakin sempit.
Dua tahun lalu ia menjadi guru honorer di sebuah SD di
pinggiran Jakarta, namun nasib selalu menghentaknya hingga gaji tiga bulan
terakhir belum pernah ia terima sampai saat ini. Bisa saja institusi yang wajib
menggajinya sudah lupa (atau sengaja melupakan?), tapi Asmari masih mengukirnya
dalam ingatan, selama itu pula ia nyambi profesi "ikan
sapu-sapu" mengais sampah-sampah yang dapat diuangkan, tentu saja bukan
sampah-sampah yang keluar dari mulut para calon presiden saat kampanye.
Sesekali ayam atau sepeda tetangga juga menjadi incaran (ssst…jangan bilang-bilang!!), mungkin ia menganggapnya sampah
"asal anak-bini hari ini bisa makan", ucapnya waktu itu.
Seminggu sebelum ia putus asa menunggu gaji yang tak
kunjung mampir, rumahnya di bilangan PI (bukan Pondok Indah tapi Pinggiran
Ibukota) juga diratakan dengan tanah oleh mereka dengan alasan penertiban. "Sebenarnya
siapa yang harus ditertibkan?" Dia menanyakannya namun tak ada telinga
manusia normal dapat mendengar suara parau itu. Mungkin ukuran telinga yang
normal pun telah disetting menurut selera penguasa. Bukankah gaji
pegawai juga harus tertib? Termasuk gaji seorang guru honorer SD? Mereka selalu
menggonggongkan hak-hak mereka untuk menggusur. Tetapi kami hanya memiliki hak
sepatu, hak sandal, dan selanjutnya hanya sandal jepit tanpa hak.
Mereka yang duduk di dalam gedung mewah berbentuk kelamin
perempuan itu mengaku sebagai mulut dan telinga kami, tapi penguasa telah
membentuk kami sebagai manusia yang hanya memiliki telinga tanpa mulut yang
dapat berbicara. Berbicara hak-hak kami, berbicara gubuk-gubuk kami, berbicara
si Wati yang sudah dua bulan SPP-nya nunggak, berbicara gerobak dagangan kami
yang digaruk Satpol PP, berbicara kompor kami, berbicara kopi yang kami minum
yang semakin hari semakin encer tanpa gula, berbicara minyak goreng, berbicara
tentang minyak tanah yang semakin hari semakin langka meski harganya sudah
mengangkasa. Mungkin mereka sudah bosan minum wine dan mengganti
sensasinya dengan minyak tanah sehingga kompor kami selalu menganga hanya
menunggu kentut mereka. Kami selalu mendengarkan apa kata mereka karena telinga
kami memang disetting hanya untuk mendengar dan mematuhi tanpa
dianugerahi mulut yang dapat berbicara seperti mereka saat kampanye dulu.
Mungkin inilah konsekuensi yang harus ditanggung karena
awal pembentukan negara ini kita memilih nama "pemerintah" bukan,
misalnya, "pengurus". Bukankah kata dasar dari "pemerintah"
adalah "perintah"? Sehingga ada "perintah",
"Pemerintah" (orang yang memerintah) dan "yang diperintah".
Nah, kita termasuk pada "yang diperintah". Konsekuensinya, rumah
digusur, gerobak digaruk dan hak-hak pribadi lainnya digasak, ya kita harus
terima. Karena kita adalah "yang diperintah", maka wajar jika kita
hanya punya telinga tanpa mulut yang bisa berbicara, berbisik apalagi bersuara
lantang bak Krisdayanti itu.
Tak terasa kretek yang terjepit diantara telunjuk dan
jari tengahnya mulai terasa panas setelah hisapan kedelapan, dan ia matikan.
Asmari menyeruput kembali kopi yang sudah tinggal lumpur hitam sehitam realitas
yang selama ini membelenggunya. "praakkk…" tiba-tiba gelas itu pecah
terlempar dari tangan Asmari, seiring suara keras yang memecah keheningan
lamunannya. Matanya terbelalak, tangan kurusnya bergetar, cahaya itu hilang,
padang sahara berganti padang lumut, dinding kusam itu telah menjadi sangat
jelas di depan matanya. Bergegas ia keluar dari kamar mencari sumber suara yang
telah menelan semua lamunan.
"…Wati, kenapa menangis?". Namun tangisan Wati
semakin keras mencoba meminta simpati dari ayahnya.
"Ceritakan nak, kenapa?". Wati hanya terdiam
menahan sakit, tangannya masih mengelus vagina mungil yang bersembunyi di balik
rok seragam SD yang sedikit lusuh.
"Le Jali!!!", Wati hanya singkat menjawab dan
suara tangis kembali memecah keheningan dapur yang tak lagi berasap.[*]
Jogjakarta 2003
Zye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar