Kamis, 09 Februari 2012

SANDAL JEPIT KANG ASMARI


Semburat lembayung semakin kentara di langit sana menyisakan secuil kehangatan pelukan si Raja Siang. Pepohonan sudah enggan menari meladeni seribu batalyon angin yang sejak tadi siang menggempur. Racauan anak-anak bagai peluru-peluru yang keluar dari moncong senjata, semakin memekakkan telinga.
"Ayo kejar aku!" anak lelaki dekil itu menantang sahabatnya.
"Si Udin sembunyi di sana!", kata si Jabrik pada Bejo.
"Mak…emaaaak…le Jali nakal!," teriak Wati manja, semakin akrab dengan pamannya itu.
Orang Bule bilang siang menjelang sore itu sangat crowded, bising, kaya pasar, seperti di kebun binatang tepatnya. Suasana seperti itu masih saja dipertahankan dari zaman nenek moyang mereka. Tapi entah apakah mereka tahu siapa nenek moyang mereka? "emang gue ingsinyur, mikirin amat!". (memangnya ingsinyur mikirin nenek moyang?) Apalagi berfikir siapa nenek moyang, berfikir siapa kakek merekapun, "peduli amat!",  "jelas saja tidak peduli, ngapain juga mikirin monyet!".
Badan yang ia rebahkan tadi siang sekarang mulai duduk termangu. Asmari sesekali memejamkan mata menahan kantuk yang masih menghinggapi. Memandang ke depan, memandangi cahaya kosong, Dinding kusam, dekil dan beberapa bagiannya dibrewoki lumut-lumut hijau. Ia sendiri tak tahu harus menyebut warna apa bagi dindingnya, yang ia tahu dinding itu terakhir kali dicat putih sewaktu ia menikahi Marni, ibu dari anak-anaknya sekarang. Almari pakaian dari jati yang sudah tua, mungkin sudah diwariskan dari nenek moyangnya, berada di sisi kanan dipan yang menopang tubuhnya saat ini. Sisi depannya terdapat cermin, sedikit retak, mukanya menjadi dua jika bercermin, namun tetap saja keduanya menunjukkan kepedihan. Ia duduk di atas dipan, almari itu berada di sisi kanan, matanya melihat bayangannya di cermin, ia sedikit malu…"ternyata aku masih memiliki muka", gerutunya.
Masih saja tangannya mengelap kelopak mata dengan raut muka yang sulit dibayangkan, pipi yang telah diukir sayatan tikar masih membekas, karena kasur dari kapuk yang banyak berjajar "pulau-pulau" itu sedang dijemur di halaman depan rumah. Sayatan itu semakin menambah guratan muka yang cekong menjadi semakin tua dari umur sesungguhnya, 35 tahun. Namun sekali lagi yang ia lihat hanya deretan masa silam, wajah para calon presiden yang tersenyum manja meminta simpati, terkurung di poster-poster kamar yang kini salah satu dari mereka sudah menjadi presiden, tak juga mampu merayunya menarik dari lamunan. Mencoba beberapa kali ia menyeret waktu ke depan tapi tak sanggup membendung realitas yang datang. Tak bisa ia bayangkan, dan terkadang tanpa harapan yang mampir agak lama dalam benaknya ataupun sekedar bergelantungan pada rambutnya yang panjang tak terurus itu. Bagaimana akan menggendong harapan jika terus ditepis realitas tak bersahabat. Mungkin harapan hanya milik anak-anak, milik si perut buncit (tapi bukan busung lapar lho…!), milik mereka yang menganggap kami sandal jepit, memperlakukan kami sebagai keset yang bertuliskan "WELCOME". Ya..kami memang selalu membuka tangan menyambut mereka, mengumbar senyum ramah, menuangkan teh di cangkir yang dibuat dengan tangan kami, mencuci mobil mereka, pakaian, sandal, bed cover sisa-sisa peluh, serta mencuci popok mereka, sampai akhirnya kami membuka tangan namun mereka mengambil segalanya dari tangan kami, milik kami digasak, dirampas, dirampok, sampai harga diri kami diinjak-injak tanpa ada senyum ramah, tanpa jabat tangan, tanpa sambutan hangat dan tanpa nurani yang bersahabat.
Asmari masih mendekap guling dekil dengan tangan-tangan kurusnya. Dengan dada yang hanya terbungkus kaos singlet, semakin menunjukkan pada dunia tentang badannya yang kurus namun seringkali menggendong kehidupan maha duka. Kopi encer tanpa gula sudah dingin, tinggal setengah. Puntungan kretek yang tadi siang sempat ia hisap masih tergeletak di meja kecil samping dipan reot. Kretek itu mulai dinyalakan, asap mengepul melayang bersama harapan hampa. Mata menghadap dinding kusam, pandangan tetap datar pada cahaya tanpa ujung, sahara menghampar tanpa batas. Bayangan masa silam semakin erat mengikat. Teringat kembali kenangan saat ia masih tinggal di Jakarta, sebuah kota yang baginya bagai kereta yang tiada ampun menerjang siapapun yang menghadang, penuh srigala-srigala lapar yang siap menerkam anak ayam (tapi kita kan anak monyet?), berada di tengahnya dapat menyeret kita menjadi iblis berhati nurani, selalu ragu padahal relitas menuntut kita untuk curang. Kebaikan dan kejahatan menjadi pilihan setiap saat. Malaikat dan iblis selalu bertarung dalam ruang jiwa yang semakin sempit.
Dua tahun lalu ia menjadi guru honorer di sebuah SD di pinggiran Jakarta, namun nasib selalu menghentaknya hingga gaji tiga bulan terakhir belum pernah ia terima sampai saat ini. Bisa saja institusi yang wajib menggajinya sudah lupa (atau sengaja melupakan?), tapi Asmari masih mengukirnya dalam ingatan, selama itu pula ia nyambi profesi "ikan sapu-sapu" mengais sampah-sampah yang dapat diuangkan, tentu saja bukan sampah-sampah yang keluar dari mulut para calon presiden saat kampanye. Sesekali ayam atau sepeda tetangga juga menjadi incaran (ssst…jangan bilang-bilang!!), mungkin ia menganggapnya sampah "asal anak-bini hari ini bisa makan", ucapnya waktu itu.
Seminggu sebelum ia putus asa menunggu gaji yang tak kunjung mampir, rumahnya di bilangan PI (bukan Pondok Indah tapi Pinggiran Ibukota) juga diratakan dengan tanah oleh mereka dengan alasan penertiban. "Sebenarnya siapa yang harus ditertibkan?" Dia menanyakannya namun tak ada telinga manusia normal dapat mendengar suara parau itu. Mungkin ukuran telinga yang normal pun telah disetting menurut selera penguasa. Bukankah gaji pegawai juga harus tertib? Termasuk gaji seorang guru honorer SD? Mereka selalu menggonggongkan hak-hak mereka untuk menggusur. Tetapi kami hanya memiliki hak sepatu, hak sandal, dan selanjutnya hanya sandal jepit tanpa hak.
Mereka yang duduk di dalam gedung mewah berbentuk kelamin perempuan itu mengaku sebagai mulut dan telinga kami, tapi penguasa telah membentuk kami sebagai manusia yang hanya memiliki telinga tanpa mulut yang dapat berbicara. Berbicara hak-hak kami, berbicara gubuk-gubuk kami, berbicara si Wati yang sudah dua bulan SPP-nya nunggak, berbicara gerobak dagangan kami yang digaruk Satpol PP, berbicara kompor kami, berbicara kopi yang kami minum yang semakin hari semakin encer tanpa gula, berbicara minyak goreng, berbicara tentang minyak tanah yang semakin hari semakin langka meski harganya sudah mengangkasa. Mungkin mereka sudah bosan minum wine dan mengganti sensasinya dengan minyak tanah sehingga kompor kami selalu menganga hanya menunggu kentut mereka. Kami selalu mendengarkan apa kata mereka karena telinga kami memang disetting hanya untuk mendengar dan mematuhi tanpa dianugerahi mulut yang dapat berbicara seperti mereka saat kampanye dulu.
Mungkin inilah konsekuensi yang harus ditanggung karena awal pembentukan negara ini kita memilih nama "pemerintah" bukan, misalnya, "pengurus". Bukankah kata dasar dari "pemerintah" adalah "perintah"? Sehingga ada "perintah", "Pemerintah" (orang yang memerintah) dan "yang diperintah". Nah, kita termasuk pada "yang diperintah". Konsekuensinya, rumah digusur, gerobak digaruk dan hak-hak pribadi lainnya digasak, ya kita harus terima. Karena kita adalah "yang diperintah", maka wajar jika kita hanya punya telinga tanpa mulut yang bisa berbicara, berbisik apalagi bersuara lantang bak Krisdayanti itu.
Tak terasa kretek yang terjepit diantara telunjuk dan jari tengahnya mulai terasa panas setelah hisapan kedelapan, dan ia matikan. Asmari menyeruput kembali kopi yang sudah tinggal lumpur hitam sehitam realitas yang selama ini membelenggunya. "praakkk…" tiba-tiba gelas itu pecah terlempar dari tangan Asmari, seiring suara keras yang memecah keheningan lamunannya. Matanya terbelalak, tangan kurusnya bergetar, cahaya itu hilang, padang sahara berganti padang lumut, dinding kusam itu telah menjadi sangat jelas di depan matanya. Bergegas ia keluar dari kamar mencari sumber suara yang telah menelan semua lamunan.
"…Wati, kenapa menangis?". Namun tangisan Wati semakin keras mencoba meminta simpati dari ayahnya.
"Ceritakan nak, kenapa?". Wati hanya terdiam menahan sakit, tangannya masih mengelus vagina mungil yang bersembunyi di balik rok seragam SD yang sedikit lusuh.
"Le Jali!!!", Wati hanya singkat menjawab dan suara tangis kembali memecah keheningan dapur yang tak lagi berasap.[*]

                                                                                Jogjakarta 2003
                                                                                Zye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar