Rabu, 15 Februari 2012

Dimensi Mistik Wujudiyyah Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani

oleh: Ade Fakih Kurniawan

A.  Pendahuluan
Pembahasan mengenai hubungan erat Melayu-Nusantara dengan sejumlah ulama terkemuka di Haramyan, khususnya dalam kehidupan intelektual-keagamaan dan politik, juga tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai hubungan Kesultanan Banten dengan Timur Tengah. Kesultanan Banten—yang didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah dan kemudian dihapuskan oleh Daendels pada tahun 1808—selain menggunakan gelar maulana bagi para penguasanya, juga mengenal gelar sultan. Penguasa pertama yang mendapatkan gelar ini adalah putera Maulana Muh}ammad, ‘Abd al-Qa>dir (1596 – 1651). Gelar ini secara sengaja dipintanya dari penguasa Makkah, Syarif Besar, melalui utusannya yang dikirim ke Makkah dan kembali ke Banten pada tahun 1638. Utusan tersebut kembali ke Banten dengan membawa berbagai hadiah termasuk nama baru bagi Sang Penguasa, Sult}a>n Abu> al-Mafa>khir Mah}mu>d ‘Abd al-Qa>dir.[1] Selanjutnya gelar tersebut dipakai oleh keturunannya dengan mengulangi permintaan yang sama, gelar dan nama baru, kepada Syarif Besar di Makkah pada saat mereka naik tahta.[2] Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dan memperkuat legitimasi kekuasaannya dan untuk menunjukkan suatu hubungan dengan pusat kebudayaan Islam, yakni Makkah.
Para penguasa Banten tampaknya sangat menaruh minat yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah akidah dan tasawuf yang sangat dalam dan rumit (tasawuf falsafi). Misalnya, dalam Sajarah Banten—sebuah karya abad ke-17—menceritakan perihal utusan yang dikirim ke Makkah untuk mencari pendapat atau penjelasan yang berwibawa tentang tiga teks keagamaan yang rupanya mengandung doktrin-doktrin tasawuf wuju>diyyah[3] seperti yang diuraikan oleh Hamzah Fans}u>ri>. Selain itu, utusan tersebut diperintahkan untuk meminta pengiriman ulama yang berpengetahuan luas dari Makkah untuk memberikan penerangan di Banten.[4] Utusan Banten tersebut bertemu dengan seorang ulama terkenal Muh}ammad ‘Ali> ibn ‘Alla>n, namun mereka tidak berhasil membujuknya untuk datang ke Banten.
Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Sang Sultan, Abu> al-Mafa>khir dan puteranya, Abu> al-Ma’a>li> Ah}mad, Ibn ‘Allan menulis dua risalah yang masih ada hingga kini. Salah satunya berbicara mengenai pertanyaan Sultan tentang karya al-Ghazali, Nas}i>h}at al-Mulu>k (Nasihat untuk Para Raja), sebuah teks yang pasti sangat menarik bagi penguasa muslim, sedangkan risalah yang lain membahas tentang masalah yang bersifat mistik-metafisik. Sang Sultan rupanya mempunyai minat yang sangat besar terhadap kontroversi seputar doktrin-doktrin tasawuf wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri>, karenanya, ia kemudian berkonsultasi dengan penentangnya yang paling terkenal, Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>, yang pada waktu itu akan meninggalkan Aceh untuk kembali ke tanah kelahirannya, Gujarat. Al-Ra>ni>ri> juga menjawab pertanyaan-pertanyaan Abu> al-Mafa>khir dalam salah satu dari beberapa risalahnya yang terakhir, yang memfokuskan pembahasannya pada salah satu doktrin khusus yang dikemukakan oleh Hamzah.[5]
Minat yang sungguh-sungguh dari para penguasa Banten ini pun tercermin dalam usaha mereka menjalin hubungan yang baik dengan para ulama, baik ulama setempat maupun ulama asing, dan banyak di antara mereka yang mendapatkan kedudukan yang sangat berpengaruh di istana (termasuk sebelum abad ke-19, jabatan qa>d}i> atau Pekih Najmuddin selalu diberikan kepada ulama asal Makkah yang didatangkan oleh Sang Sultan).
Ajaran tasawuf yang berkembang pada masa-masa permulaan di Indonesia dapat dikategorikan sebagai mistik yang sangat identik dengan paham wah}datul wuju>d atau wuju>diyyah yang merupakan pengembangan teori tajalliya>t Ibn ‘Arabi>.[6] Doktrin wah}datul wuju>d atau wuju>diyyah ini trerpusat pada ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat. Konsep tujuh martabat ini kemudian dikenal sebagai teori martabat tujuh yang terdiri dari ah}adiyyah, wah}dah, wa>h}idiyyah, ‘a>lam mitha>l, ‘a>lam arwa>h}, ‘a>lam ajsa>m, dan insa>n ka>mil. Teori ide dasarnya berasal dari ajaran Ibn ‘Arabi> ini, untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Fad}lulla>h al-Burhanpuri dalam karyanya Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi>.[7]
Di Aceh, pada abad 17 khususnya, doktrin wuju>diyyah ini pernah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama sufi itu sendiri. Selain karena adanya factor social-politik saat itu yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih, kontroversi seputar doktrin wuju>diyyah ini juga diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan doktrin tersebut. Pergumulan wacana mistiko filosofi atau pemikiran tasawuf falsafi di Nusantara, yang oleh Gus Dur dianggap telah mengambil bentuknya yang paling vulgar, mencuat terutama peristiwa perseteruan antara Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>> versus pengikut ajaran wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatrani>.[8]
Dalam catatan sejarah, kontroversi doktrin wuju>diyyah di Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1637-1641 M). Menurut Oman, latar belakang kontroversi tersebut dimulai ketika Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>> (w. 1666) mengeluarkan pernyataan (fatwa) yang cukup tegas  dan sangat kontroversial bahwa ajaran wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatrani> adalah sesat.[9] Bahkan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra, al-Ra>ni>ri>, yang notabene termasuk ulama ortodoks tersebut, secara intensif menyebarkan propaganda tentang kesesatan mereka dan menganggap kelompok ini menganut paham banyak Tuhan (politeis) yang dengan demikian niscaya untuk dihukum mati.[10]
Tasawuf falsafi mendapat tempatnya yang strategis di wilayah Aceh pada masa Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatrani>. Corak tasawuf kedua ulama ini dinilai oleh al-Ra>niri> sebagai wuju>diyyah. Masalah wuju>diyyah ini kemudian diperdebatkan, diperselisihkan dan bahkan diharamkan oleh Sheikh Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>>.
Memperbincangkan Hamzah Fans}u>ri> tidak bisa terlepas dari setting sosial dan politik wilayah Aceh ketika itu. Sebagai salah satu pusat ekonomi dan agama, Aceh memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses islamisasi nusantara. Arnold menyatakan bahwa terdapat kemungkinan besar pada tahun 674 M telah terdapat pemukiman-pemukiman orang Arab di pantai Barat Sumatera.[11] Petunjuk pertama tentang muslim Nusantara di bagian Sumatera adalah dengan ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin ‘Abd Alla>h bin al-Basir yang bertanggal 608 H. /1211 M. di pemakaman Lamreh. Nisan yang selama ini dijadikan patokan awal Islam di Sumatera tengah adalah nisan Sultan Malik al-Saleh yang bertanggal 696 H. / 1297 M. Ini menunjukkan bahwa pada awal abad ke -13 M. sudah berdiri kerajaan Islam di Sumatera Utara ini.[12]
Kerajaan Aceh berkembang menjadi negara dengan kekuasaan politik dan perdagangan yang besar berlangsung ketika pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M.). Pada periode ini Kerajaan Aceh dengan cepat menjadi altenatif jalur perdagangan menggantikan pelabuhan Malaka. Banyak para pedagang yang mengalihkan rute perdagangannya yang semula transit di bandar Malaka berganti jalur dan mendarat di Aceh. Selain itu ada kepentingan yang lain dari kerajaan Aceh yakni untuk meningkatkan perekonomian negara, maka penguasa Aceh berusaha semaksimal mungkin agar kapal-kapal singgah di Aceh.
Sebagai sentra ekonomi dan politik, kerajaan Aceh juga memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di luar Aceh serta Timur Tengah. Kerajaan Aceh menjalin hubungan perdagangan dengan misalnya bangsa Cina, India, Turki, Jawa, dan bahkan Perancis, Portugis dan Belanda. Literatur Cina Thong-his-yang-kao yang ditulis pada tahun 1618 M. mengetahui kejadian-kejadian di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa pelabuhan kerajaan Aceh menjadi daya tarik tersendiri bagi para pedagang, “Oleh karena negeri itu jauh letaknya, mereka yang mendatanginya akan mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.” Hal ini didukung pula oleh kronik kerajaan Ming.[13]
Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah Bah}r al-La>hu>t (Lautan Ketuhanan) karangan ‘Abd Alla>h ‘A<rif (w. 1214 M.). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wuju>diyyah Ibn ‘Arabi>> dan ajaran persatuan mistikal (fana>’) al-Halla>j. Sheikh ‘Abd Alla>h ‘A<rif adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di Sumatera (Perlak, Pasai) pada tahun 1177 M. Menurut T. Arnold, Sheikh ‘Abd Alla>h ‘A<rif termasuk Sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak tasawuf di Sumatera.[14] Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan misalnya Sunan Bonang dan Sunan Giri pergi Ke Aceh untuk menuntut ilmu kepada Maulana Ishak setelah Maulana Ishak kembali dari Blambangan,[15] ia dipercaya oleh Sultan Pasai untuk menyebarkan Islam di Blambangan, namun tidak berhasil.[16] Atau pasca kekalahan Pasai dari Portugis banyak ulama yang pergi ke daerah lain di nusantara seperti Maulana Makhdum yang dikenal dengan sunan Gunung Jati. Hal ini membuktikan bahwa Aceh (Pasai) telah menjadi salah satu pusat intelektual Islam di masanya.
Seperti disampaikan oleh John, bahwa kitab-kitab keagamaan yang beredar di Aceh ditulis oleh para ulama di luar Aceh yang umumnya berbahasa Arab. Kitab-kitab yang membahas ilmu batin (tasawuf) menjadi hal yang digemari. Kitab Fus}u>s} al-H{ikam, dan al-Futu>ha>t al-Makiyyah karya Ibn ‘Arabi>>, kitab al-Insa>n al-Ka>mil karya al-Ji>li>, serta kitab Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi> karya al-Burhanpuri menjadi bacaan terpenting di Aceh.[17] Baru pada abad ke-16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu. Sedangkan kitab-kitab yang ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Shara>b al-‘A<shiqi>n (Minuman Orang Berahi), Asra>r al-‘A<rifi>n (Rahasia–rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi> karangan Hamzah Fans}u>ri> (wafat awal abad ke -17 M.) dan sebagainya.[18]
Diskursus wah}datul wuju>d atau wuju>diyyah selalu menjadi bahan polemik di kalangan ulama sufi. Menurut Oman,[19] disinyalisasi paling tidak ada dua faktor utama yang memicu terjadinya polemik, yaitu faktor politis dan faktor yang timbul disebabkan perbedaan pemahaman terhadap konsep tersebut. Dalam sejarahnya, polemik itu berakhir tragis, dengan pembakaran karya-karya Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatrani> serta pengejaran bahkan pembunuhan terhadap pengikut-pengikutnya yang enggan bertobat.
Iklim yang tercipta akibat kontroversi doktrin wuju>diyyah di Aceh itu, tampaknya juga berpengaruh pada pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa berikutnya. Naskah yang penulis temukan di wilayah Banten dan ditulis oleh ulama lokal menunjukkan dinamika intelektual yang terjadi pada kisaran abad ke-17 dan 18 di Nusantara. Naskah itu ditulis oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> dengan judul Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik, menerangkan tentang masalah tasawuf dan ditulis atas permintaan seorang sultan Banten yang pada saat itu tengah memerintah, yakni Sultan ‘Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn ‘A<shiqi>n (1753-1773 M)[20] putra Sultan Abu> al-Fath} Muh}ammad Shifa>’ Zayn al-‘A<rifi>n (1733-1750 M).[21]
Lain halnya dengan apa yang terjadi di Aceh, di kesultanan Banten paham wuju>diyyah dapat berkembang tanpa adanya pengkafiran. Hal ini terjadi lantaran banyak sultan Banten yang cinta terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keislaman. Di antara para sultan Banten yang banyak menaruh perhatian kepada penulisan dan penyalinan teks-teks Islam adalah Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n yang memerintah Banten tahun 1753 – 1773. Dan dalam keterangan P. Voorhoeve, Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n ini tak sekadar cinta terhadap ilmu, terutama dalam bidang tasawuf, tetapi beliau juga turut melakukan dan mengamalkannya. Sang Sultan mendapatkan ijazah tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin ‘Ali> al-T}abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>, salah seorang guru dari ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.

B.   Biografi ‘Abd Alla>h bin ‘And al-Qahha>r al-Bantani>
Selain tidak adanya data yang cukup memadai mengenai ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>, kesan pertama yang timbul adalah adanya historiographical gap dalam penulisan sejarah kesultanan Banten khususnya kajian yang berkaitan dengan sejarah perkembangan Islam di Banten. Para ahli sejarah yang pernah menulis tentang Banten jarang sekali membahasnya, padahal peran yang dilakukan oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> cukup signifikan di kesultanan, khusunya pada masa pemerintahan Sultan ‘A<rif Zayn al-‘A<shiqi>n.
Nama ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> diabadikan dalam tulisan Martin van Bruinessen meski tidak tuntas (hanya disebutkan dalam dua paragraph). Martin menyebutnya sebagai Guru Besar (tarekat) di kesultanan Banten selain Sheikh Yu>suf al-Maqassari>, artinya, Martin menganggapnya sebagai ulama yang memiliki pengaruh besar di kesultanan Banten.
Nama lengkap Sang Guru Besar itu, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, adalah ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.[22] Informasi mengenai ulama ini terbilang sangat minim sekalipun namanya cukup popular karena tercatat dalam beberapa karya biografi bermutu semisal Geischichte der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl Brockelmann. Namun data-data yang disajikan dalam GAL ini hanya memuat perkiraan tahun wafat dan dua karya monumentalnya yang paling dikenal dunia yakni Risa>lah Shuru>t} al-Hajj yang ia tulis selama ia berada di Makkah pada tahun 1748 dan Kita>b al-Masa>’il.[23] Karena itu, pengungkapan lebih jauh mengenai jati diri tokoh ini masih menjadi pekerjaan lebih lanjut, dan penulis seringkali harus mencari-carinya dalam beberapa biografi penulis naskah maupun menelusuri naskah-naskah yang ia tulis.
Dalam buku catalog L.W.C. van den Berg ternyata dijumpai tiga nama yang mirip, yakni ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Ja>wi>, dan ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r. Pertanyaannya sekarang, apakah ketiga nama tersebut merupakan orang yang satu tetapi beda penyebutan? Dalam hal ini penulis sependapat dengan R. Friederich dan L.W.C. van den Berg yang berkesimpulan bahwa ketiga nama dengan sebutan yang berbeda itu adalah orang yang sama, yakni ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.[24] Dalam buku catalog tersebut, nama-nama itu tercantum di halaman 42, 98, 101, 116, 117, 125, 128, dan 133. Ketiga nama tersebut juga dapat dijumpai dalam naskah-naskah sebagai berikut:
1.      Kumpulan naskah A. 31                    : halaman 236
2.      Kumpulan naskah A. 111                  : halaman 2, dan 3
3.      Kumpulan naskah A. 114                  : halaman 3
4.      Kumpulan naskah A. 131                  : halaman 29, 54, 68, 192, 221, dan 234
5.      Kumpulan naskah A. 145                  : halaman 169
6.      Kumpulan naskah A. 146                  : halaman 157 dan 230
7.      Kumpulan naskah A. 155                  : halaman 1, dan 35
8.      Kumpulan naskah A. 159                  : halaman 317
9.      Kumpulan naskah A. 656                  : halaman 6, 27, 143, dan 149

Dalam salah satu tulisan di berita harian local, Radar Banten tanggal 27 Juni 2006, Sukar menyatakan bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani> adalah cucu dari Sultan Ageng Tirtayasa.[25] Jika dimaksudkan bahwa ia adalah cucu Sultan Ageng Tirtayasa melalui jalur Sultan Haji (putera Sultan Ageng Tirtayasa yang bergelar Sultan Abu> al-Nas}r ‘Abd al-Qahha>r) adalah sebuah pendapat yang keliru. Pasalnya, tidak ada satu keterangan pun yang menyatakan bahwa Sultan Haji memiliki putera bernama ‘Abd Alla>h dalam silsilah keturunannya.
Dalam silsilah Sejarah Cianjur, ditemukan nama ‘Abd Alla>h dengan tambahan nama Rifa>’i> di belakangnya. ‘Abd Alla>h Rifa>’i ini adalah putera Sheikh ‘Abd al-Qahha>r, seorang ulama Banten yang menikah dengan Ratu ‘A<isha cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayahanda Ratu ‘A<isha itu sendiri adalah Awliya Sheikh H. Ilya>s Maula>na> Mans}u>r yang dimakamkan di Cikadueun, Pandeglang, Banten. Selanjutnya dinyatakan bahwa Sheikh ‘Abd Alla>h Rifa>’i> ini menikah dengan Ny. R. Modjanagara, puteri Raden Adipati Wira Tanu Datar IV (Raden Sabirudin), seorang Adipati Cianjur. Adipati ini dikenal dengan seorang penguasa yang alim, luas pengetahuan agamanya dan sangat sholeh.
Dari perkawinan ‘Abd Alla>h Rifa>’i dengan Ny. R. Modjanagara ini lahirlah beberapa putera dan puteri, yakni 1) Raden Aria Mangkupradja yang kemudian menjadi Patih Cianjur dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur; 2) Raden Muhamad Husen yang kemudian menjadi Panghulu Gede Cianjur; 3) Nyi Bodedar yang menjadi orang terkaya di zamannya dan telah mewakafkan berhektar-hektar tanah untuk keperluan kepenghuluan, salah satu wakafnya yang hingga kini masih ada dikelola oleh Badan Wakaf Masjid Agung Cianjur.[26]
Jika kita membaca keterangan yang ada dalam manuskrip Masha>hid, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> sendiri menyatakan diri pernah tinggal di Cianjur, maka pernyataan dalam Sejarah Cianjur adalah masuk akal dan dapat diterima. Dan berdasarkan pernyataan dari Sejarah Cianjur di atas, maka keraguan Martin van Bruinessen mengenai apakah ayah atau ibunya yang memiliki darah Banten dapat segera terjawab. ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani> merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah ulama dari Arab, yakni ‘Abd al-Qahha>r, dan ibunya adalah orang Banten cucu Sultan Ageng Tirtayasa, Ratu ‘A<isha.
‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> merupakan anak didik Sultan Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Zayn al-‘A<shiqi>n (berkuasa 1753-1773) dan disbut-sebut sebagai ulama yang produktif menyalin dan menulis karya-karya berbahasa Arab maupun Jawa yang menjadi koleksi perpustakaan Kesultanan Banten sebelum dirampas oleh Belanda pada tahun 1830 pasca likuidasi kesultanan.[27] Sepeninggalnya, terdapat tiga nama yang menjadi khalifah dari tarekat yang dikembangkannya, seperti qa>d}i> Muh}ammad T{a>hir dari Bogor, Haji Muh}ammad ‘Ali> dari Cianjur, dan Haji Muh}ammad Ibra>hi>m Ha>ru>n al-Ja>lis dari Cianjur.[28] Perihal kedekatannya dengan Sang Sultan adalah sebuah fakta, karena beberapa karyanya seringkali merupakan permintaan Sang Sultan, sehingga membawa saya untuk berasumsi bahwa ulama ini meski tidak tinggal di keraton ia tetap mendapat dukungan dan perlindungan dari Sang Sultan.
Dalam catatan manuskrip yang ia tulis, ia mengaku bermazhab Shafi’i dalam soal fikih, pengikut tarekat Shattariyah dan Qa>diriyyah, mengikuti mazhab al-Maturidi dalam soal akidah, dan mendapatkan kematangan intelektualnya dari Makkah Musharrafah.[29] Selebihnya, tidak terdapat sumber yang memberikan informasi mengenai kehidupannya secara utuh. Namun yang jelas, ia dikenal dekat dengan Sultan Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Zayn al-‘A<shiqi>n yang kemudian banyak memintanya untuk menyalin atau menulis buku-buku keagamaan untuk dipergunakan di Banten.
Seperti disebutkan Martin van Bruinessen, tokoh ini adalah anak didik Sultan Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n. Namun tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan dirinya menimba ilmu kepada penguasa Banten itu. Kemungkinan besar adalah saat dia masih kecil dan belum berangkat ke Tanah Suci. Setelah itu dia berangkat ke Tanah Suci dan menimba ilmu dengan beberapa ulama kenamaan. Nama-nama gurunya selama studi di Madinah, Makkah dan Yamman ia catat dalam manuskrip karyanya yang berjudul Fath} al-Mulu>k Liyas}ila ila> Ma>lik al-Mulk ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k.[30]
Dikatakan bahwa pada 1746, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> berada di Makkah, bahkan sempat mengarang dan menyalin beberapa kitab. Namun tidak ada keterangan yang jelas berapa lama beliau berada di Makkah. Keterangan tahun tersebut saya jumpai dalam buku catalog L.W.C. van den Berg sebagai berikut:
…LII quaestiones (مسائل) de variis rebus theologicis, ut: de vita futura, de paradiso, de daemonibus, de statura corporis Adami, ect. Auctor landator Muh}ammad, filius doctissimi Scaich Abd al-Baqi Malachitae, mortui A.H. 1099.
Librarius fuit Abd Allah ibn Abd al-Qahhar al-Djawi qui scripsit A.H. 1159 in urbe Mekkat. Doxologia deest.[31]

Artinya:

Lima puluh dua pertanyaan (مسائل) tentang bermacam-macam persoalan teologi, kehidupan akhirat, surga, setan, tentang sosok tubuh Adam, dan lain-lain. Pengarangnya Muh}ammad putera Sheikh Abd al-Baqi bermazhab Maliki yang sangat terpelajar dan wafat tahun 1099 H. Penyalinnya adalah Abd Allah bin Abd al-Qahhar al-Djawi. Ia menulis tahun 1159 H (1746 M) di kota Makkah. Tidak ada kata pujian kepada Tuhan.

Berdasar kutipan di atas, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> pernah tinggal di Makkah pada tahun 1159 H/1746 M dan sempat menyalin kitab berjudul Masa>’il karya Muh}ammad bin Sheikh al-Ba>qi> al-Ma>liki>. Sementara itu, dalam kumpulan naskah A. 131 halaman 68 juga dijumpai keterangan bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> ini pada tahun 1161 H/1748 sempat mengarang naskah berjudul Risa>lah Shuru>t al-Hajj di Makkah. Dalam naskah tersebut beliau mengatakan dalam bahasa Arab sebagai berikut:

لما كنت جاورت في مكة المشرفة زده (زاده) الله شرفا قد طلب مني من بعض محبتي من الأحباب أن يجمع ويلحص (أن أجمع و ألحص) باختصار جدا في بيان شروط الحج واركانه وواجبته ومسنوناته ومحرماته ومكرهاته (مكروهاته)
Artinya:
Ketika saya tinggal di Makkah al-Musharrafah—semoga Allah menambah kemuliaan atasnya—beberapa sahabat meminta saya untuk menyusun dan meringkas seringkas mungkin tentang syarat-syarat haji, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, sunah-sunah, yang mengharamkan dan yang memakruhkannya.

Ketika di Makkah, ia berguru kepada al-Ima>m Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari>, putera ‘Ali> al-T{abari> yang juga guru para ulama Nusantara pada abad sebelumnya semisal ‘Abd al-Ra’u>f Singkel. Guru penting keduanya ini pernah berguru kepada ‘Abd Alla>h bin Sa>lim al-Bas}ri> al-Makki> yang juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17. Darinya ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> menerima ajaran tarekat Shat}t}a>riyah yang kemudian ia sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh ijazah secara langsung pengajaran kitab hadis karangan Muh}ammad ‘Ali> al-T{abari> berjudul Fayd} al-Ahad fi ‘Ilm bi ‘Uluwwi al-Isna>d.
Beberapa nama gurunya yang lain semasa di Makkah adalah Ima>m ‘Abd al-Wahha>b al-Sha>fi’i>, Sa’i>d al-Shibli>, ‘Ali> al-Yamani>, Ah}mad al-Astabawi>, ‘At}a>’ al-Mis}ri>, Ah}mad al-Mah}alli>, Sa’i>d al-Magribi>, Sa>lim al-Garnuqi> al-Had}rami>, Sayyid ‘Umar al-D{ari>r, Sayyid Muh}ammad al-Mafa>zi>,dan  ‘Abd al-Wahha>b al-T{ant}awi> al-Azhari>, kepada nama yang disebut terakhir ‘Abd Alla>h belajar ilmu fikih, tafsir al-Bayd}a>wi> dan hadis di Masjid al-Haram. Sementara satu nama gurunya yang paling memebrikan pengaruh besar terhadap pemikiran ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> dan al-Ima>m Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari>. Hal ini terlihat dari tingginya pujian yang ia berikan kepada kedua ulama besar itu yang ia sebut sebagai al-‘A<lim al-‘Alla>mah (penghulu para ulama).
Sedangkan selama di Madinah ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> antara lain berguru kepada Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin Muh}ammad T{a>hir al-Madani> yang memberinya ijazah pengajaran kitab al-S{imt al-Maji>d karya Ah}mad al-Qushashi>. Hal ini terbilang wajar karena Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> merupakan putera dari Muh}ammad T{a>hir al-Madani> yang disebut-sebut sebagai anak sekaligus pengganti dari Ibra>hi>m al-Kura>ni>. Dengan demikian, guru ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah cucu ulama kenamaan abad ke-17 yang sangat berpengaruh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara pada abad sebelumnya. ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> juga menerima tarekat Naqshabandiyyah dari Ibra>hi>m al-Madani>.
Ketika Sheikh Yu>suf al-Maqassari> memperkenalkan tarekat Naqshabandiyya di Banten, bukanlah merupakan tarekat dalam arti organisasi yang dibawanya melainkan hanya teknik-tekniknya, terutama zikirnya dan metodenya dalam mengatur nafas. Pasalnya, jika benar ia telah mengajarkannya pastilah akan ditemui beberapa orang khalifanya di daerah Banten. Kasus ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r mungkin berbeda. Sheikh ‘Abd Alla>h ini telah mengangkat beberapa khalifa di daerah-daerah sekitar Banten, yang tampaknya semacam permulaan bagi organisasi yang sebenarnya, suatu jaringan yang pelan-pelan mengembang. Namun, tidak ada petunjuk sama sekali bahwa sesuatu yang menyerupai gerakan massa telah timbul (bandingkan dengan pemberontakan petani Banten pada abad ke-19).
‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah ulama Banten yang produktif dalam menelurkan karya tulis, baik karya yang ia tulis maupun salin. Martin van Bruinessen menyebutnya sebagai ulama Banten yang produktif dan memiliki minat yang besar terhadap tasawuf dan metafisik. Beberapa karya ulama besar disalin oleh ‘Abd Alla>h seperti karya langka ‘Abd al-Ra’u>f Singkel dan menyalin kitab Shara>b al-‘A<shiqi>n karya Hamzah Fans}u>ri> dalam Bahasa Jawa Banten. Selain itu, ia juga menulis beberapa risalah berbahasa Arab. Karya-karyanya banyak disimpan di perpustakaan kesultanan Banten. Setelah kesultanan Banten dilikuidasi pada tahun 1820, karya-karya tersebut diambil alih oleh Belanda.
Salah satu guru ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> yang sempat mencatat tentang dirinya dalam salah satu karyanya adalah al-Sheikh Yu>suf ibn Ah}mad al-Gazi>. Dalam sebuah catatan yang terdapat pada bagian akhir naskah A. 656, halaman 149-159 yang berjudul Kita>b fi> Risa>lah al-Asa>nid wa al-Ija>rah, Sheikh ini mengatakan dalam bahasa Arab sebagai berikut:
أما بعد فيقول الفقير إلي رحمة مولاه وعفوه يوسف ابن أحمد الغزي بلدا الشافعي مذهبا أن الشيخ الفاضل الكامل الشيخ عبد الله ابن الشيخ عبد القهار قرأ علي في بلد الله الحرام ختمة كاملة من اول القران إلي آخره قراءة وقراء علي السبع القرائات
Artinya:
Sesudah itu, orang yang mengharap rahmat dan ampunan Tuhannya, Yu>suf bin Ah}mad al-Gazi> (negerinya) al-Sha>fi’i> (mazhabnya) mengatakan bahwa Sheikh ‘Abd Alla>h bin Sheikh ‘Abd al-Qahha>r belajar (membaca) al-Qur’an kepada saya dari awal hingga akhir dan tamat dengan sempurna, serta belajar membaca al-Qur’an dengan qira’at sab’ah (tujuh dialek al-Qur’an); semuanya dilakukan di negeri Alla>h al-Hara>m.

Dalam catatan Brockelmann, karya ‘Abd Alla>h yang paling popular di dunia luar adalah Risa>lah fi> Shuru>t} al-Hajj  yang ia tulis sewaktu di Makkah pada tahun 1748 dan Kita>b al-Masa>’il yang ditulisnya pada tahun 1746.[32] Secara keseluruhan, karya yang pernah beliau tulis, baik yang ia karang sendiri ataupun yang ia salin, sebanyak 17 naskah. Tiga karya dari jumlah itu adalah karangan beliau sendiri:
1.      Shuru>t} al-Hajj. Ditulis tahun 1161 H (1748 M) terdapat dalam kumpulan naskah A. 131. Penulisannya dilakukan di Makkah.
2.      Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik. Naskah inilah yang penulis jadikan rujukan utama dalam tesis ini, karya ini penulis temukan di tangan masyarakat di daerah Pontang, Kabupaten Serang, Banten dan sekarang oleh pemiliknya dihibahkan kepada Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Terapat juga di Perpustakaan Nasional dalam kumpulan naskah A. 131. Kemungkinan penulisannya di Banten pada tahun 1763-an atau sesudahnya.
3.      Fath} al-Mulu>k Liyas}ila ila> Ma>lik al-Mulk ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k. Selesai ditulis pada tahun 1183 H (1769 M) ditulis di Banten. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 111.
Selain tiga buah karya di atas, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> juga banyak menyalin kitab dari beberapa orang tokoh yang cukup terkenal. Keempat belas naskah dari yang tujuh belas tersebut adalah:
1.      Futu>h al-Asra>r wa Fad}a>’il al-Tahli>l wa al-Taz\ki>r. Pengarang kitab ini adalah ‘Abd al-Wahha>b ibn ‘Abd al-Ga>ni> ibn ‘Abd Alla>h. Disalin pada tahun 1154 H (1741 M), tanpa tempat, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
2.      Al-Fath}iyyah. Tak diketahui siapa pengarangnya, disalin pada tahun 1158 H (1745 M). sebuah kitab tentang pemakaian bilangan seperempat dalam menghitung siang dan malam. Naskah ini terdapat dalam kumpulan naskah A. 155.
3.      Masa>’il. Kitab ini dikarang oleh Muh}ammad ibn Sheikh ‘Abd al-Ba>qi> (w. 1099 H). disalin pada tahun 1159 H (1746 M) di Makkah dan terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
4.      Minha>j al-Sa>lik. Kitab ini merupakan kitab ringkasan Risa>lah al-Qushayriyyah yang dikarang oleh al-Sheikh ‘Ali> ibn Khali>l al-Murs}afi>. Disalin di Banten pada tahun 1178 H (1764 M), terdapat dalam kumpulan naskah A. 169.
5.      Kita>b al-Busta>n. Kitab ini dikarang oleh Abu> Layth al-Samarqandi>. Tanpa tahun dan tempat penulisan terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
6.      Us}u>l al-Hadith. Pengarangnya adalah Abu> al-Farra>j ibn Farra>j al-Isba>hi>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
7.      Matn al-Tah}iyyah fi> Us}u>l al-Hadi>th. Kitab ini dikarang oleh al-Sheikh ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
8.      Kita>b al-Niqa>yah fi> Arba’a Ashar ‘Ilm. Pengarang kitab ini adalah Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i> al-Sha>fi’i> (w. 911 H). tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
9.      ‘Ilm al-Fara>’id}. Dikarang oleh Sheikh Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad ibn ‘Ima>d al-Mis}ri> al-Qudsi> (w. 887 H), tanpa tahun dan tempat penulisan. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 146.
10.  Al-Ka>fi> fi> ‘Ilm al-Aru>d}. Pengarang kitab ini adalah Abu> Zakariyya Yah}ya> ibn ‘Ali> al-Khat}i>b al-Tibrizi> (w. 502 H). Kitab ini mengenai kesenian, ilmu ukur, irama dan lagu. Tanpa tahun dan tempat penulisan. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 146.
11.  Kita>b al-Marsu>ma. Pengarang kitab ini adalah Abu> al-Qa>sim al-Qushayri>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 114.
12.  Was}i>lat al-T{ulla>b. Dikarang oleh Sheikh Abu> ‘Abd Alla>h Yah}ya> ibn Muh}ammad al-Khat}t}a>b. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
13.  Kita>b al-H{a>jibah. Pengarang kitab ini adalah al-Sheikh Jama>l al-Di>n ibn al-H{a>jib. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
14.  Kita>b fi> Risa>lah al-Asa>ni>d wa al-Ija>rah. Pengarang kitab ini adalah al-Sheikh ‘Abd al-Wahha>b al-Ah}madi> al-T{ant}awi> al-Mis}ri>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 656.
Setelah mengamati beberapa naskah, baik yang dikarang sendiri oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> maupun yang beliau salin, ada beberapa ciri khas kepenulisan yang dilmiliki sang pengarang. Tiga buah karangan beliau mempunyai cirri khas tersendiri dalam gaya bahasa penulisannya, yakni menggunakan kalimat tawa>d}u’. Kalimat yang saya maksud adalah:
1.      Dalam naskah Fath} al-Mulu>k
v    الفقير الحقير النادم إلي مولاه الرحيم الكريم المعترف بالذنب و التقصير الراجي إلي عفو رب الغفار عبد الله بن عبد القهار
v    قليل الزاد إلي المعاد
v    ولو كنت لست أهلا لذلك
v    أضعف عباد الله الراجي إلي رحمته وعفوه ومغفرته
2.      Dalam naskah Masha>hid al-Na>sik
v     الفقير الحقير النادم إلي مولاه الرحيم الكريم المعترف بالذنب و التقصير الراجي إلي عفو ربه الواحد
v     وان كان هو ليس أهلا لذلك قليل الزاد إلي المعاد
3.      Dalam naskah Shuru>t} al-Hajj
v    الفقير الراجي إلي رحمته مولاه عبد الله بن عبد القهار
v    ولو كنت لست أهلا لذلك قليل الزاد إلي المعاد

Selain kalimat-kalimat tawa>d}u’, saya jumpai juga kalimat-kalimat lain yang menyatakan sebab mengapa naskah-naskah itu ditulis. Karenanya, berdasarkan penelitian sementara saya berasumsi bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> dalam penulisan naskahnya selalu mempergunakan kalimat tawa>d}u’ sebagai salah satu cirri penulisannya. Selain itu, selalu pula diiringi oleh kalimat anjuran baik dari Sultan maupun dari beberapa sahabatnya. Hal demikian sekaligus menjadi kalimat pembeda antara naskah yang ia karang sendiri dengan naskah yang ia salin dari beberapa tokoh yang cukup terkenal.
Dalam beberapa manuskrip yang ditemukan, setidaknya nama ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r dikaitkan dengan empat tarekat secara bersamaan, yakni:
1.      Tarekat Qa>diriyyah. Keterkaitan ‘Abd Alla>h pada tarekat ini didasarkan pada manuskrip Fath} al-Muluk li Yas}ila ila> Ma>lik al-Mulu>k ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k, sebuah naskah karangannya sendiri. Dalam manuskrip itu, ia menuliskan namanya sebagai berikut:
...عبد الله بن عبد القهّار الشافعي مذهبا الشطاري والقادري طريقة اللأشعري والماتردي عقيدة...[33]
Hal ini juga didukung oleh keterangan P. Voorhoeve yang menyatakan bahwa ia telah menerima ijaza yang sama dengan Sang Sultan, Abu> al-Nas}r Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n dalam tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>. Sedangkan nama yang disebut belakangan ini adalah putera ‘Ali> al-T{abari yang merupakan guru dari banyak ulama Nusantara termasuk ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinki>li>. Karena ‘Abd al-Ra’u>f juga pernah mendapat ijazah tarekat Qa>diriyyah maka silsilah ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r dapat direkonstruksi sebagaimana dalam lampiran.
2.      Tarekat Shat}t}a>riyyah. Keterkaitan ‘Abd Alla>h pada tarekat ini didasarkan pada pernyataannya sendiri dalam manuskrip Fath} al-Mulu>k li Yas}ila ila> Ma>lik al-Mulu>k ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k sebagaimana di atas, serta pada manuskrip Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik yang juga naskah karangannya dengan pernyataan yang sama. Dalam naskah Fath} al-Mulu>k disebutkan bahwa ‘Abd Alla>h menerima ijazah dan khali>fah tarekat ini dari Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari al-H{usayni> al-Sha>fi’i>. Untuk merekonstruksi silsislahnya pada tarekat ini penulis merasa terbantu dengan pernyataan Martin van Bruinessen bahwa ‘Abd Alla>h menerima ijazah dalam tarekat ini melalui salah satu dari tiga garis penerus al-Qusha>shi>, hal ini berarti dari muridnya al-Qusha>shi> selain Ibra>him al-Kura>ni>, yakni ‘Ali> al-T{abari> ayahnya Muh}ammad bin ‘Ali al-T{abari>. Rekonstruksi silsilah dapat dilihat pada lampiran.
3.      Tarekat Naqs}abandiyyah. Pada tarekat ini ‘Abd Alla>h menerima ijazah dari Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin Muh}ammad T{a>hir al-Madani>Di sini ada hal yang menarik—setidaknya buat saya—mengenai diangkatnya ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> sebagai khalifa tarekat Naqshabandiyya. Di Nusantara, terutama dengan mashurnya ‘Abd al-Ra’u>f Sinkel sebagai khalifa tarekat Shattariyya, Qusha>shi> dan Kura>ni> dikenal sebagai tokoh tarekat Shattariyya. Tetapi menurut Martin van Bruinessen—ia mengutip kamus biografi ulama Kurdi dan kamus biografi Silk al-Durar karya Muh}ammad Khali>l—di Timur Tengah, Qusha>shi> dan Kura>ni> dikenal sebagai tokoh tarekat Naqshabandiyya.[34] Kepada murid dari nusantara mereka mengajarkan tarekat Shattariyya, tetapi cucu Kurani, Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin Muh}ammad T{a>hir al-Madani> mengangkat ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> sebagai khalifa Naqshabandiyya, dan dengan begitu mendorong penyebaran tarekat ini, dalam paduan dengan tarekat Shattariyya sebagaimana ‘Abd Alla>h al-Bantani> deklarasikan sendiri dalam karyanya. Adapun rekonstruksi silsilahnya dapat dilihat pada lampiran.
Tarekat Rifa>’iyyah. Keterkaitan ‘Abd Alla>h pada tarekat ini terutama berdasarkan manuskrip Sadjarah Tjikoendoel dan buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundur, Cianjur yang menyebutkan nama “al-Rifa>’i>” di belakang nama ‘Abd Alla>h. Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa risalah mengenai ajaran tarekat Rifa>’iyyah dalam Manuskrip Pontang. Bahkan dalam mengawali pembahasan dalam naskah Masha>hid, ‘Abd Alla>h menyebutkan bahwa apa yang akan dibahas dalam naskah Masha>hid salah satunya berdasarkan ajaran Sayyid Yu>suf bin Sayyid ‘Abd al-Rah}i>m al-H{usayni> al-Rifa>’i> (dan ini berarti Sayyid Yu>suf adalah cucu dari pendiri tarekat Rifa>’iyyah, Sayyid Ah}mad al-Rifa>’i>). Namun tidak ada keterangan lebih lanjut, baik dalam manuskrip Sadjarah Tjikoendoel maupun Manuskrip Pontang, dari siapa ‘Abd Alla>h menerima ijazah tarekat ini sehingga penulis merasa kesulitan untuk merekonstruksi silsilahnya dalam tarekat ini.

C.   Konsep ‘Awalim al-Khomsah

Agama sepanjang sejarahnya tidak pernah terlepas dari pembahasan akan ketuhanan. Tuhan dalam pembahasannya ini terwujud dalam ajaran tauhid, yakni bahwa Tuhan adalah Esa, Tuhan yang Mahamutlak. Tauhid merupakan puncak kesadaran, di mana manusia sebagai makhluk akan mempunyai totalitas prinsip akan Tuhan yang Esa. Dalam hal lain, tauhid menjadi sebuah "kesadaran eksistensial" bahwa tidak ada segala sesuatu apapun kecuali Tuhan (la ilaha illa Allah). Implikasi tersebut memunculkan kesadaran baru akan realitas yang ada, yakni hanyalah merupakan pancaran (tajalliya>t) akan Wujud Mutlak. Pandangan ini diperkenalkan oleh ajaran mistisisme. Karena itu, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep tajalli> agar pembahasan mengenai ‘awa>lim menjadi terpahami, karena bagi Ibn ‘Arabi>> alam adalah penampakan diri (tajalli>) al-H{aqq. Dan permasalahan tajalli> ini telah saya bahas dalam bab terdahulu. 
Istilah tajalli> yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi> sinonim dengan kata fayd} (emanasi, pemancaran, pelimpahan), z}uhu>r (pemunculan, penampakan, pelahiran), tanazzul (penurunan, turunnya), dan fath} (pembukaan). Tujuan Tuhan menciptakan ala mini adalah agar Ia dapat melihat diri-Nya dan memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan. melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan wajah-Nya. Di samping itu, Tuhan juga merupakan “harta simpanan tersembunyi” yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Ide ini didasarkan pada hadis Nabi tentang “harta simpanan tersembunyi” yang telah disinggung di bab sebelumnya. Hadis ini mengandung pengertian bahwa Tuhan rindu untuk diketahui dan karena itu Dia menciptakan alam. Hadis inilah yang kemudian dijadikan sandaran bagi Ibn ‘Arabi> dan sufi lainnya untuk mendukung konsep tajalli>.
Karena itu, pembahasan mengenai alam bertujuan untuk dapat mengenal Tuhan yang memang ingin dikenal. Dengan mengenal Tuhan, seorang sa>lik dapat mempererat intimasinya dengan Tuhan, dan pengenalan Tuhan ini dilakukan dengan memahami konsep alam sebagai salah satu tanda eksistensi dan emanasi-Nya. Ibn ‘Arabi>>, seperti dikatakan di atas, mengumpamakan alam sebagai cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya. Cinta untuk melihat diri-Nya adalah sebab penciptaan alam. Dapat pula dikatakan bahwa alam adalah alamat atau tanda untuk mengetahui Tuhan. (Alam dalam bahasa Arab adalah al-‘a>lam dan alamat atau tanda adalah ‘ala>mah. Al-‘a>lam dan ‘ala>mah keduanya sama berasal dari akar yang sama, yakni ‘lm, yang daripadanya pula berasal kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan. Kata lain yang searti dengan ‘ala>mah adalah a>yah, yang juga berarti tanda). Alam, yaitu cermin dan tanda bagi eksistensi Tuhan, tidak aka nada tanpa tajalli>-Nya.
‘Awa>lim merupakan bentuk jamak dari kata ‘a>lam. Selain kata á>lam, dalam menerangkan tajalli> Tuhan juga dikenal dengan istilah martabat atau mara>tib, yakni tingkatan-tingkatan manifestasi Tuhan, serta had}rah atau h}ad}ara>t, yakni penampakan diri Tuhan. ‘Abd Alla>h al-Bantani> secara garis besar menyebutkan ada empat macam tingkatan dalam ‘awa>lim ini, yakni ‘A<lam Ila>hi>, ‘A<lam Jabaru>t, ‘A<lam Malaku>t, dan ‘A<lam Na>su>t. Keempat ‘a>lam ini di dalamnya memiliki macam dan tingkatannya masing-masing sejak alam di mana Tuhan tak berdefinisi hingga alam insa>n ka>mil. Pembagian dan macam-macam ‘a>lam tersebut menurut ‘Abd Alla>h akan dijelaskan berikut.

a.       ‘A<lam Ila>hi>
Menurut ‘Abd Alla>h, pada taraf ini Tuhan (atau dalam istilah Ibn ‘Arabi>> disebut al-H{aqq) belum memanifestasikan diri-Nya, Dia masih terbebas dari pembatasan dan pensifatan. Dia masih berupa Dha>t yang mutlak dan tak diketahui (‘adam inh}is}a>r), wuju>d yang Mahamutlak dengan kemutlakannya. Dengan bahasa sederhana dikatakan dalam taraf ini Dia tak lebih merupakan Dha>t per se dalam kegelapan metafisik (tak dikenal). Meski pada taraf ini belum ada suatu emanasi—Dia sebagai dha>t mut}laq yang tak diketahui—tetapi ‘Abd Alla>h membagi lagi di dalamnya yang terdiri dari lima tingkatan, yakni:
1.      Alam yang digambarkan dengan alam yang suci dan murni (al-Bah}t wa al-S{irf)
2.      Alam Dha>t dan Kesucian Mutlak (‘A<lam Dha>t al-Mut}laq wa Baya>d} al-Mut}laq)
3.      Puncak segala hakikat (H{aqi>qat al-H{aqa>’iq) dan Dha>t Yang Asal (Kunh al-Dha>t)
4.      Ma>hiyyat al-Ma>hiyya dan Huwiyyat al-Dha>t
5.      Alam di mana Dha>t tak bersifat (Majhu>l al-Na’t) dan Mahagaib (Gayb al-Guyu>b). Dalam taraf ini juga disebut alam al-Ah}adiyya, al-La>ta’ayyun serta martabat alam yang digambarkan seakan kabut gamang hampa udara karena merupakan sebuah tingkatan yang betul-betul tak diketahui (Martabat al-‘Ama>).
Sehubungan dengan martabat al-‘ama> ini, ‘Abd Alla>h mencatat sebuah keterangan yang menyatakan bahwa ada pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi SAW: “Di mana Tuhanmu berada sebelum Ia mencipta makhluk-Nya?” Nabi SAW menjawabnya: “Tuhan berada di alam al-‘ama>, yang di atas maupun di bawahnya hampa udara.”

b.      ‘A<lam Jabaru>t
‘A<lam Jabaru>t ini menurut ‘Abd Alla>h adalah alam dimana Tuhan sudah memulai manifestasi-Nya yang pertama. Alam ini disebutnya pula dengan alam sifat-sifat (‘a>lam al-s}ifa>t) yang digambarkan sebagai berkumpulnya alam yang besar (majma’ al-kubra>) dan sekat dari sekat-sekat yang besar (barzakh al-bara>zikh al-kubra>). Alam ini juga disebut sebagai alam kesatuan (al-wah}da), entitas awal (al-ta’ayyun al-awwal), akal pertama (al-‘aql al-awwal), martabat ketuhanan (martabat al-ila>hi>), martabat kekekalan asal (aza>l al-a>za>l wa aba>d al-a>ba>d), yang akhir, yang lahir dan batin. Dia juga merupakan jiwa universal (al-nafs al-kullliyya), meliputi seluruh entitas permanen (muh}i>t al-a’ya>n al-tha>bita), hakikat muh}ammad (al-h}aqi>qa al-muh}ammadiyya) yang kemudian digambarkan sebagai entitas permanen (al-a’ya>n al-tha>bita), ia juga merupakan alam nama-nama (‘a>lam al-asma>’).

c.       ‘A<lam Malaku>t
‘A<lam al-Malaku>t ini merupakan Hakikat Adam, bentuk entitas kedua (al-ta’ayyun al-tha>ni>), pengetahuan ketuhanan (al-ma’lu>ma>t al-ila>hiyya), sekat kecil (al-bara>zikh al-sugra>), yang batin, ciptaan tertinggi (al-falakiyya al-‘uluwiyya), disebut juga martabat al-wa>h}idiyya. Dalam hal ini, menurut ‘Abd Alla>h, para imam berbeda pendapat mengenai al-a’ya>n al-tha>bita. Menurut al-Ima>m Ma>lik r.a.: “al-A’ya>n al-Tha>bita adalah qadi>m karena ia erat sekali hubungannya dengan Yang Mahaqadim”. Al-Ima>m al-Sha>fi’i> r.a.berkata: “al-A’ya>n al-Tha>bita bukanlah qadi>m, melainkan bersifat baru (muh}datha) karena ia merupakan bentuk yang telah diketahui, dan setiap bentuk adalah baru (muh}datha) menurut hokum dan hakikatnya.”
Sedangkan al-Ima>m Abu> H{ani>fa r.a. menyatakan: “al-A’ya>n al-Tha>bita bukan qadi>m juga bukan baru (muh}datha), karena ia merupakan sekat (barzakh) antara Sang Pencipta (Kha>liq) dan ciptaan-Nya (makhlu>q) dan pembentukan oleh Dha>t itu didsarakan pada kalimat “kun” (dalam kalimat kun fa yaku>n) yang berfungsi sebagai “mediator/penengah”. Maka “penengah” ini tidak bisa dikatakan sebagai qadi>m maupun baru (muh}datha), seperti halnya cermin, ia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bercermin (realitas) maupun bayangannya.” Menurut al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal r.a.: “terkadang al-A’ya>n al-Tha>bita dikatakan qadi>m dan terkadang pula baru (muh}datha), karena ia merupakan hasil ciptaan. Hal ini dikarenakan perkataan “kun” (dalam kalimat kun fa yaku>n) tidak lepas daripada yang Qadi>m, maka dikatakan bahwa ia (al-a’ya>n al-tha>bita) juga qadi>m. Sedang apabila ia (al-a’ya>n al-tha>bita) ini disandarkan pada makhluk yang mengamini kalimat “kun” itu maka ia termasuk baru (muh}datha) berdasarkan bentuk-bentuknya berupa ciptaan yang terikat oleh factor luar.
Mengenai hal ini ‘Abd Alla>h menyatakan pendapatnya yang sejalan dengan al-Gaza>li> r.a. yang mengatakan bahwa al-a’ya>n al-tha>bita ini merupakan qadi>ma, pendapat ini merupakan bentuk kehati-hatian bagi orang yang tidak mengetahui rahasia ta’wi>l, dan Alla>h Maha Mengetahui.
‘A<lam Malaku>t ini merupakan alam perbuatan Tuhan (‘a>lam al-af’a>l), alam kenyataan (‘a>lam al-ta’thi>ra>t), ‘a>lam arwa>h}, alam gayb, dan kawasan wewenang Tuhan ('a>lam al-amr).

d.      ‘A<lam Na>su>t
‘A<lam al-Na>su>t ini merupakan dunia bawah (‘a>lam al-sufliyya), alam manusia (‘a>lam al-ana>m), alam jasmani, alam nyata (‘a>lam al-shaha>da), alam makhluk, alam zahir, alam wadag (‘a>lam al-ajra>m), dan alam inderawi (‘a>lam al-mah}su>sa>t). ‘A<lam Na>su>t ini juga disebut sebagai alam insa>n ka>mil, alam tempat penciptaan menjadi nyata, sebuah akhir pelepasan dari penciptaan (a>khir al-tanazzula>t), dan puncak dari segala adaan (kha>tim al-mawju>da>t).
Dalam alam ini juga dikenal adanya alam lima yang berpasang-pasangan (al-khams al-muh}i>t). Adapun unsur-unsur alam lima yang berpasang-pasangan ini adalah: alam ruhani dan jasmani (al-ru>h}a>niyya wa al-jisma>niyya); dunia atas dan dunia bawah (al-‘uluwiyya wa al-sufliyya); alam unsure dan mineral (al-‘uns}u>riyya wa al-ma’da>niyya); alam bebatuan dan tanaman (al-jama>diyya wa al-naba>tiyya); serta alam hewani dan insani (al-h}ayawa>niyya wa al-insa>niyya).
Dalam kesimpulannya mengenai pembahasan ‘awa>lim ini, ‘Abd Alla>h mengatakan bahwa hakikat wujud adalah Allah itu sendiri, tidak ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan. Wujud Tuhan bukanlah wujud yang bersifat luar (al-kha>riji>) maupun wujud yang bersifat mental (al-wuju>d al-z\ihni>). Wujud yang sebagaimana adanya sebagai wujud tidaklah terikat dengan sesuatu yang lain kecuali dengan yang mutlak. Keterikatan dalam bentuk ini tidak menunjukkan universal maupun particular, tidak ‘a>m maupun kha>s}, Dia adalah esa dalam keesaan Dha>t-Nya. Kebanyakan orang menetapkannya dengan martabat maupun maqa>mat yang tak berkeserupaan.
Sebagai tambahan, eksistensi eksternal (al-wuju>d al-kha>riji>) maupun eksistensi mental (al-wuju>d al-dhihni>) ini sangat erat hubungannya dengan epistemology. Terjadinya suatu ilmu pengetahuan adalah karena berkumpulnya kedua eksistensi tersebut melalui unifikasi fenomenal yang bersifat epistemik, bukan logis ataupun ontologis. Hal ini, karena sebuah objek eksternal selain memiliki realitas faktual dalam tatanan wujud, juga memiliki representasi fenomenal dalam pikiran kita yang terkait dengan tatanan konsepsi. Melalui unifikasi epistemik terjadi korespondensi yang bermakna “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk. Artinya, bentuk internal disatukan dengan bentuk material eksternal karena adanya saling keserupaan kedua modus eksistensi tersebut melalui unifikasi formal (bentuk; s}u>rah).[35]
Karena pada esensinya bersifat intensional (adanya tujuan yang bersifat eksternal), maka tindak mengetahui senantiasa dimotivasi, ditentukan, dan dikonstitusi oleh objeknya. Oleh karenanya, objek memiliki saham, bersama subjek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui, tetapi berbeda dari subjek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak mengetahui. Oleh karena itu, sementara ciri utama objek adalah memotivasi tindakan subjek, sebaliknya subjek tak bisa mengambil bagian dalam prosedur memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang yang hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi objek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa efisien (sebab pelaku) bagi tindak intensional mengetahui sesuatu dan objek berfungsi sebagai kausa final (sebab tujuan) bagi pelaksanaan tindakan itu. Kausa efisien tidak dianggap sepenuhnya identik dengan kausa final, sehingga suatu subjek tidak mungkin identik dengan objeknya.[36]
Dalam konteks ini, kausa efisien didefenisikan sebagai agen yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui. Adapun kausa final, berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan internalnya. Eksistensi eksternal objek, karena secara prima facie independen dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subjek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental objek yang sama, karena hadir dalam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subjek. Artinya, subjek yang mengetahui sebagai kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental objek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang objeklah yang pertama kali mengefektifkan kausasi potensial subjek dengan membawanya dari keadaan potensialitas kepada keadaan aktual. Seandainya gagasan tentang objek tidak ada dalam pikiran subjek yang mengetahui, niscaya subjek potensial tersebut tidak akan pernah sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam urutan kausasi ini, gagasan tentang objek muncul lebih dahulu, dan dipandang sebagai kausa prima (sebab utama), sedangkan realitas objektifmya merupakan kausasi terakhir dan final dari tindak imanen pengetahuan.[37]
Dengan hal ini, maka jelas bahwa pengetahuan yang kita miliki berasal dari proses pencerapan terhadap eksistensi atau objek eksternal melalui gambaran (shurah) objek tersebut, yang kemudian dengan kreatifitas akal diubah menjadi eksistensi mental (objek internal) yang hadir dalam diri kita. Artinya subjek (akal) memiliki kemampuan untuk melakukan kreasi dalam menciptakan objek internal dari bentuk visual entitas yang berasal dari objek eksternal (wujud luar) bahkan menurut Mulla Shadra, bagi orang-orang yang telah mencapai taraf tertinggi yang akalnya telah aktif dan suci (kudus) secara sempurna, maka ia akan mampu mengaktualisasikan apa yang ada secara potensial di dalam akalnya sehingga terwujud di luar secara eksistensi eksternal (wujud luar) sekaligus dengan segala efek yang dihasilkannya.[38]
Menurut skema besar yang disampaikan oleh ‘Abd Alla>h al-Bantani>, Tuhan bertajalli dalam empat tahapan besar, yakni ‘A<lam Ila<hi<, ‘A<lam Jabaru>t, ‘A<lam Malaku>t, dan terakhir ‘A<lam Na>su>t. Keempat alam ini terkesan berbeda dalam hal jumlah jika dibandingkan dengan konsep tajalli> yang berkembang pada saat itu, yakni Martabat Tujuh yang diformulasikan oleh Fad}l Alla>h al-Burhanpuri> dalam karyanya Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi>.
Karya Burhanpuri ini terlihat pengaruhnya secara nyata di nusantara terutama sejak abad ke-17 M. Di Sumatra dan Jawa ajaran-ajaran al-Burhanpuri yang dituangkan dalam Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi> yang membahas tentang Mara>tib al-Wuju>d (tingkatan-tingkatan wujud) masih mampu bertahan cukup lama, terutama pembahasan tentang al-Mara>tib al-Sab’ah (Martabat Tujuh) yang menjadi pilar ajaran Tasawuf di Nusantara. Salah satu bukti bahwa ajaran Martabat Tujuh ini sangat popular pada zamannya adalah banyaknya terjemahan maupun saduran kitab Tuh}fah ini dalam bahasa local, salah satu saduran tersebut juga saya jumpai dalam Manuskrip Pontang yang saat ini menjadi rujukan utama tesis ini.[39]
Para ulama yang mengembangkan ajaran martabat tujuh itu antara lain Sheikh Shams al-Di>n al-Sumatrani[40] dalam kitabnya yang berjudul Jauhar al-H{aqa>’iq, Nu>r al-H{aqa>’iq, Mir’at al-I<ma>n (Mir’at al-Mu’mini>n) dan Kita>b al-H{araka>t, Sheikh ‘Abd al-S{amad al-Palimbani yang di tulis dalam kitabnya Siya>r al-Sa>liki>n ila> ‘Iba>dah Rabb al-‘A<lami>n[41] yang memasukkan karya al-Burhanpuri (al-Tuh}fah) ke dalam kitab Tasawuf tingkat ketiga yang tertinggi yang cocok untuk orang-orang khusus bukan untuk orang awam[42] dan Sheikh ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinkili>,[43] martabat tujuh dan tentang wuju>diyyah dijelaskan dalam kitabnya antara lain Daqa>’iq al-H{uru>f, Kifa>yat al-Muh}ta>ji>n al-Qa>ili>n bi Wah}dat al-Wuju>d, Muh}ammad Nafis al-Banjari, dalam kitabnya yang berjudul Durr al-Nafi>s.
Konsep Martabat Tujuh menurut al-Burhanpuri dalam karyanya Tuhfah tersebut sebagai berikut:[44]
1.    Martabat Ah}adiyyah. Atau disebut juga sebagai alam la> ta’ayyun, yakni alam di mana Tuhan belum memanifestasikan diri-Nya, Dia masih merupakan Dha>t Mut}laq.
2.    Martabat Wah}dah. Disebut juga sebagai alam entifikasi pertama (ta’ayyun awwal), martabat ini disebut juga al-H{aqi>qat al-Muh}ammadiyyah.
3.    Martabat Wa>h}idiyyah. Disebut juga sebagai alam entifikasi kedua (ta’ayyun tha>ni>) atau al-h}aqi>qa al-insa>niyyah.
4.    Martabat alam Arwa>h}. yakni pengungkapan (ibarat) dari segala sesuatu yang ada di alam ini yang bersifat murni dan sederhana yang tampak pada zat-zat dan semisalnya.
5.    Martabat alam Mitha>l. Yakni pengungkapan (ibarat) dari sesuatu yang halus yang tidak menerima susunan dan tidak dapat diceraikan bagian–bagiannya, tidak dapat dimusnahkan dan dibinasakan. Amtha>l merupakan sesuatu yang tersusun (murakkab) yang halus dan tidak dapat dibagi-bagi. Nur itulah yang menjadi pakaian awal bagi-Nya dalam ‘a>lam arwa>h} dan alam mitsal
6.    Martabat alam Ajsa>m. Yakni pengungkapan tentang segala sesuatu yang ada dan tersusun dengan susunan yang padat dan kasar serta dapat dibagi dan dipisahkan.
7.    Martabat alam Insa>n Ka>mil. Alam ini disebut juga sebagai martabat al-ja>mi’ah, yakni berkumpulnya entitas Dha>t Tuhan dengan asma>’, s}ifa>t, dan af’a>l Tuhan dalam diri seorang manusia, hal itulah yang dinamakan sebagai Manusia Sempurna (Insa>n Ka>mil).

Hal yang berbeda mengenai pembahasan alam ini juga dikemukakan oleh Hamzah Fans}u>ri>. Menurut Hamzah, Tuhan bertajalli> dalam lima martabat:
1.    Martabat La> ta’ayyun. Dinamakan demikian karena akal budi manusia tak mampu memahami dan mengetahui-Nya.
2.    Martabat Entifikasi Pertama (Ta’ayyun Awwal), yakni ‘ilm, wuju>d, shuhu>d, dan nu>r. Martabat ini dinamakan juga martabat Ah}ad dan Wa>h}id. Dinamakan Ah}ad karena dha>t Allah berada dalam keesaan-Nya, namun jika disertakan sifat-Nya maka dinamakan Wa>h}id.
3.    Martabat Entifikasi Kedua (Ta’yyun Tha>ni>). Alam ini disebut juga entitas permanen (al-a’ya>n al-tha>bita), bentuk-bentuk pengetahuan (s}uwar al-‘ilmiyyah), hakikat sesuatu (h}aqi>qat al-ashya>’), atau ruh yang tertambat (ru>h} id}a>fi>)
4.    Martabat Entifikasi Ketiga, yakni kenyataan ruh insan, ruh hewan, dan ruh tumbuhan.
5.    Martabat Entifikasi Keempat dan Kelima, yakni segala sesuatu yang berbentuk fisik, dunia corporeal serta segala makhluk. Tahap ini merupakan tahap penciptaan yang tiada akhir, ila> ma> la> niha>yatan lahu, sebab bila tidak ada penciptaan maka Tuhan bukan merupakan Pencipta.[45]

Sedangkan menurut al-Ji>li>, dalam karyanya, al-Insa>n al-Ka>mil fi> Ma’rifat al-Awa>khir wa al-Awa>’il, ada lima tingkatan dalam tajalli> Tuhan, yakni martabat al-Ulu>hiyyah, al-Ah}adiyyah, al-Wa>h}idiyyah, al-Rah}ma>niyyah, dan al-Rubu>biyyah. Tetapi dalam karyanya yang lain, Mara>tib al-Wuju>d, al-Ji>li> membagi tajalli> Tuhan dalam empat puluh tingkat, yakni: 1) Martabat al-Ghayb al-Mut}laq, 2) al-Wuju>d al-Mut}laq, 3) al-Wa>h}idiyyah, 4) al-Z{uhu>r al-S{irf, 5) al-Wuju>d al-Sa>ri>, 6) al-Rubu>biyyah, 7) al-Ma>likiyyah, 8) al-Asma>’ wa al-S{ifa>t al-Nafsiyyah, 9) H{ad}rat al-Asma>’ al-Jala>liyyah, 10) H{ad}rat al-Asma>’ al-Jama>lliyyah, 11) H{ad}rat al-Asma>’ al-Fi’liyyah, 12) ‘A<lam al-Imka>n, 13) al-‘Aql al-Awwal, 14) al-Ru>h} al-A’z}am, 15) al-‘Arsh, 16) al-Kursi>, 17) ‘A<lam al-Arwa>h} al-Fi’liyyah, 18) al-T{abi>’ah al-Mujarradah, 19) al-Hayu>la>, 20) al-Hiba>’, 21) al-Jawhar al-Fard, 22) al-Murakkaba>t wa Aqsa>miha>, 23) al-Falak al-At}las, 24) Falak al-Jawza>’, 25) Falak al-Afla>k, 26) Sama>’ al-Zuh}al, 27) Sama>’ al-Mushtari>, 28) Sama>’ al-Bahra>m al-Mari>kh, 29) Sama>’ al-Shams, 30) Sama>’ al-Zahrah, 31) Sama>’ ‘At}a>rud, 32) Sama>’ al-Qamar, 33) al-Falak al-Athi>r, 34) al-Falak al-Ma’thu>r, 35) al-Falak al-Musta’thar, 36) al-Falak al-Muta’aththar, 37) al-Ma’dan wa Anwa>’uh, 38) al-Naba>t, 39) al-H{ayawa>n, 40) al-Insa>n.
Seorang sufi yang lebih awal dari yang telah diuraikan di atas, Ibn ‘Arabi>—karya-karyanya seringkali mengilhami para sufi yang hidup belakangan termasuk sufi yang disebutkan di atas—mengungkapkan tajalli> al-H{aqq dalam lima martabat:[46]
1.      Martabat Dha>t, yakni alam di mana Tuhan masih merupakan dha>t yang mutlak dan belum bertajalli> (al-ghayb al-mut}laq).
2.      Martabat sifat dan nama Tuhan, disebut juga ‘A<lam al-Ulu>hiyyah
3.      Martabat perbuatan Tuhan (af’a>l), disebut juga ‘A<lam al-Rubu>biyyah
4.      Martabat ‘A<lam Amtha>l atau ‘A<lam Khaya>l
5.      Martabat ‘A<lam Musha>hadah, yakni dunia corporeal.

Perbedaan-perbedaan deskripsi mengenai tajalli> al-H{aqq dalam beberapa martabat ini dapat dilihat pada table berikut:
Ibn ‘Arabi>>
Al-Ji>li>
Hamzah Fans}u>ri>
Al-Burhanpuri
‘Abd Alla>h
Dha>t/al-Ghayb al-Mut}laq
al-Ghayb al-Mut}laq
La> Ta’ayyun
Ah}adiyyah
‘A<lam Ila>hi>
al-S{ifa>t wa al-Asma>’/ ’A<lam al-Ulu>hiyyah
al-Wuju>d al-Mut}laq
Ta’ayyun Awwal
Wah}dah
‘A<lam Jabaru>t
al-Af’a>l/’A<lam al-Rubu>biyyah
al-Wa>h}idiyyah
Ta’ayyun Tha>ni>
Wa>h}idiyyah


al-Z{uhu>r al-S{irf
‘A<lam Arwa>h}
‘A<lam Arwa>h}
‘A<lam Malaku>t
‘A<lam Amtha>l/ ’A<lam Khaya>l
al-Wuju>d al-Sa>ri>
‘A<lam Ajsa>m/ al-Mawju>da>t
‘A<lam Mitha>l

‘A<lam Musha>hadah
al-Rubu>biyyah

‘A<lam Ajsa>m


al-Ma>likiyyah, dst

‘A<lam Insa>n Ka>mil
‘A<lam Na>su>t

Jika dilihat lebih cermat perbedaan-perbedaan dalam mendiskripsikan konsep tajalli> al-H{aqq ini, kita dapat melihat adanya persamaan yang mendasar pada kesemuanya. Konsep-konsep tersebut meskipun dideskripsikan secara berbeda tetapi semuanya hendak menyatakan bahwa Tuhan dalam kemutlakannya dan sebelum Dia bertajalli> adalah esa, tak dapat diketahui dan bebas dari pensifatan apapun. Konsep tajalli> ini juga menjelaskan perihal dari yang esa ke yang banyak, apa yang kita saksikan dalam alam corporeal ini ternyata tak se-real kelihatannya. Dunia yang kita anggap nyata selama ini—bagi para sufi tersebut—tak lebih dari sekadar ilusi.
Meski alam fenomenal ini bukanlah sebuah realitas yang sesungguhnya, tetapi bukan berarti ia tak bernilai atau tak berarti. Bagi para sufi, dunia fenomenal ini merupakan symbol refleksi dan representasi dari Dia yang benar-benar Real. Tak ada wuju>d kecuali wuju>d-Nya.
Dalam mengakhiri penjelasan mengenai tajalli> al-H{aqq ini, ‘Abd Alla>h mengatakan bahwa tidak ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan, eksistensi Tuhan yang sebenarnya tidak bisa dikonsepsikan oleh akal manusia, eksistenasi-Nya tidak terikat oleh eksistensi lainnya. Dia dalam diri-Nya tidak memiliki sifat apa pun, tidak kulli> maupun juz’i>, tidak kha>s} maupun ‘a>m, Dia Esa dalam keesaan-Nya yang tak berbilang. Sedangkan eksistensi selain diri-Nya terikat oleh eksistensi-Nya, dari Yang Esa lallu menjadi Yang Banyak tidak bisa dijelaskan kecuali dengan penjelasan tajalli>-Nya dalam beberapa martabat dan maqa>ma>t tersebut.[47]

D.  ‘Abd Allah dan Posisinya dalam Konstelasi Wuju>diyyah di Nusantara
Sebuah pemikiran bersifat sinambung. Tidak ada pemikiran yang timbul dari ruang hampa, karena itu sebuah pemikiran tentulah berada pada ruang historis. Meski dikatakan sebuah pemikiran itu baru, namun bukan berarti ia tak terikat dengan pemikiran yang ada sebelumnya, ia merupakan sebuah ekspolari dan sebuah penafsiran baru atau evolusi penafsiran, ia ada karena adanya pembauran dari berbagai cakrawala pengetahuan sebelumnya. Untuk lebih memahami konsep-konsep wuju>diyyah ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Qahhar al-Bantani> kita mesti juga melihat pada konstelasi diskusi wuju>diyyah yang terjadi pada masanya ataupun masa sebelumnya yang dianggap mempengaruhi. Dalam hal ini saya akan membahasnya secara singkat pemahaman wuju>diyyah[48] sebelum masa ‘Abd Allah sehingga kita bisa mengetahui posisinya dalam diskursus wuju>diyyah yang terjadi di Nusantara.
Tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n Sumatra>ni> disebut oleh al-Ra>ni>ri> dengan paham wuju>diyyah. Paham wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> misalnya dapat dilihat dalam karya Ruba>’iyyat-nya, dalam syairnya ia mengatakan:
Yogya kau pandang kain dan kapas
Keduanya wahid asmanya lain
Wahidkan hendak lahir dan batin
Itulah ilmu kesudahannya main.

Dengarkan sini anak ratu,
Ombak dan air asalnya satu,
Seperti manikam muhith dengan batu,
Inilah tamsil engkau dan ratu.[49]

Dalam syair perahu ia mengatakan:
Hamzah Fans}u>ri> di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Di Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah[50]

Syair-syair Hamzah ini berbicara mengenai konsep kesatuan wujud, seperti halnya Ibn ‘Arabi>>, padanya lebih tampak lagi, tidak ada lagi dualismenya. Seperti kata-katanya, kain dan kapas jangan dipandang dua, manikem dan batu juga jangan dipandang dua, semuanya satu dan hanya beda pada nama. Jadi semuanya menurut Hamzah adalah satu realitas yakni wujud Tuhan, hal-hal yang dapat kita lihat ini berbeda hanya pada tataran nama. Dalam syair perahunya ia tak lagi memakai tamsil, ia menyebut langsung Tuhan. Baginya, Tuhan tak perlu dicari jauh-jauh karena sesungguhnya ia ada dalam diri kita sendiri. Dalam hal ini ia mirip dengan ajaran al-H{alla>j mengenai h}ulu>l.
Konsep wah}dat al-wuju>d (kesatuan wujud) Hamzah Fans}u>ri> juga dapat terlihat dari ilustrasinya mengenai posisi Tuhan dalam alam semesta. Dalam Asra>r al-‘A<rifin Hamzah Fans}u>ri> menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam dengan mengatakan bahwa alam itu adalah cermin Tuhan. Meski secara lahir ia (alam) berwujud, namun sesungguhnya wujud itu adalah wujud wahmi bukan wujud yang sesungguhnya. Wujud yang hakiki hanyalah Tuhan.[51] Dalam bagian yang lain Hamzah mengumpamakan Allah SWT. dengan alam ibarat laut dengan ombak, seperti dijelaskan:
“Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga Allah SWT. tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.”[52]

Sejalan dengan pemikiran Hamzah adalah pemikiran Shams al-Di>n Sumatrani, dan karenanya banyak peneliti menganggapnya sebagai guru-murid, namun hipotesis tersebut banyak yang membantahnya sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bab II. Dari beberapa karyanya dapat diketahui bahwa Syams al-Di>n al-Sumatra>ni> adalah pengikut aliran wuju>diyyah. Misalnya dalam karyanya, Jawhar al-H{aqa>’iq, ia menguraikan masalah wah}dat al-wuju>d yang dianutnya, yang terdiri dari sebuah mukadimah, lima pasal dan sebuah penutup. Kitab ini dikarang dalam bahasa Arab yang cukup baik dengan gaya bahasa sufi yang cukup menyentuh.
Tuhan dalam pengertian Shams al-Di>n adalah wujud yang tidak ada satupun yang seperti Dia, dan tidak ada suatupun yang berdiri menyertainya, namun Dia adalah yang menyebabkan adanya segala sesuatu tanpa menyebabkan perubahan pada Zat dan Sifat-Nya. Dia adalah yang Pertama (al-Awwal), yang Akhir (al-A<khir), yang Tampak (al-Z{a>hir) dan Yang Tersembunyi (al-Ba>t}in) karena keberadaan-Nya meliputi segala sesuatu. Dengan-Nya segala sifat-sifat yaitu hidup (al-H{aya>h), pengetahuan (al-‘Ilm) kehendak (al-Ira>dah), kekuasaan (al-Qudra), pendengaran (al-Sama>’) penglihatan (al-Bas}ar) dan pembicaraan (al-Kala>m). Maka dia adalah Yang Hidup (al-H{ayy), Yang Berdiri Sendiri (al-Qayyu>m), Yang Berkehendak (al-Muri>d), Maha Kuasa (al-Qa>dir), Yang Mengetahui (al-‘A<lim), Yang Mendengar (al-Sa>mi’), Yang Melihat (al-Ba>s}ir) dan Yang Berbicara (al-Mutakallim) dengan Dha>t-Nya sendiri.[53] Sehingga wujud yang sebenarnya adalah wujud Tuhan, sedangkan alam tidak lain hanyalah bayang-bayang dari wujud Tuhan yang hakiki. Sedangkan dalam hal tajalli>, Shams al-Di>n mengikuti konsep Martabat Tujuh yang dirumuskan oleh al-Burhanpuri.[54]
Di kemudian hari, terutama setelah Sultan Iskandar Muda wafat, ajaran wuju>diyyah Hamzah dan Shams al-Di>n mendapatkan serangan yang sangat hebat, terutama oleh Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>. Pada dasarnya, sewaktu Sultan Iskandar Muda masih hidup telah tampak benih-benih pertentangan tersebut, tetapi dengan kebijaksanaan Sang Sultan pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Sultan Iskandar Muda pada saat itu tidak bisa diyakinkan oleh al-Ra>ni>ri> sewaktu kedatangannya yang pertama ke Aceh untuk menentang paham wuju>diyyah itu.
Al-Ra>ni>ri> sangat menentang ajaran wah}dat al-wuju>d yang diajarakan oleh Hamzah dan Shams al-Di>n, baginya apapun alasannya tidak ada kemanunggalan antara Tuhan dengan manusia, maupun yang menganggap bahwa Allah sama dengan alam dan alam adalah Allah jua. Al-Ra>ni>ri> menambahkan bahwa Tuhan tetaplah Tuhan meskipun Ia turun (tanazzul), dan hamba akan tetaplah hamba meskipun ia naik (taraqqi>).[55] Ungkapan-ungkapan berani yang diucapkan secara terbuka ini pulalah yang mendorong al-Ra>ni>ri> untuk meluruskan pemahaman pengikut aliran wuju>diyyah dengan cara apapun.[56]
Al-Attas merangkum setidaknya ada lima point utama kritikan al-Ra>ni>ri> terhadap ajaran Hamzah Fans}u>ri>, yakni:
1.      Pemikiran Hamzah mengenai Tuhan, alam, manusia, dan hubungan antar mereka, dengan kata lain, adalah identik dengan pemikiran para filsuf, Zoroaster, penganut paham inkarnasi dan para Brahman.
2.      Keyakinan Hamzah adalah panteistik, yakni dha>t Tuhan itu imanen dan identik dengan alam, dan segala yang terlihat di ala mini adalah Tuhan.
3.      Hamzah yakin, seperti para filsuf, bahwa Tuhan merupakan wujud yang sederhana.
4.      Keyakinan Hamzah bahwa al-Qur’an adalah makhluk
5.      Hamzah yakin bahwa alam adalah kekal.
Ketika Aceh mengalami polemic mengenai paham wuju>diyyah antara al-Ra>ni>ri> dan para pengikut Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatra>ni>, ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinkili>> berangkat ke Timur Tengah pada tahun 1052/1642.[57] Maka sangat dimungkinkan al-Sinkili> melihat dan mengalami secara langsung polemik tersebut sampai adanya pengkafiran dan hukuman mati. Hal ini tentunya memberi kesan yang kuat kepada al-Sinkili>, sehingga kepergiannya ke Timur Tengah juga salah satunya adalah untuk belajar tentang masalah-masalah tersebut. Al-Sinkili> menemukan orang yang tepat di Madinah untuk membicarakan masalah itu yaitu dengan Ah}mad al-Qusha>shi> dan Ibra>him al-Kura>ni>. Pergaulannya dengan ulama-ulama ini pada gilirannya membawa al-Sinkili> menjadi salah satu eksponen neo sufisme di nusantara dan menjadi salah satu pembela mazhab Ibn ‘Arabi>> (wah}dat al-wuju>d) meski dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih ortodoks.
Berangkat dari konsep tauhid, al-Sinkili>> menjelaskan hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, antara al-H{aqq dengan al-Khalq, antara yang Esa dengan yang banyak, antara wa>jib al-wuju>d dan al-mumkina>t. Ia menjelaskan bahwa alam adalah nama untuk segala sesuatu selain al-H{aqq. Dibentuknya alam seperti ini karena ia adalah sarana untuk mengetahui keberadaan Allah, maka keberadaan alam itu juga merupakan bukti adanya Allah. Oleh karena itu hakekat alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat yang mumkina>t. Dan jika dihubungkan dengan al-H{aqq, maka alam itu bagaikan bayangan. Maka bayangan itu tidak memiliki wujud selain wujud pemilik bayangannya. Wujud manusia (alam) merupakan bayang-bayang dari wujud-Nya. Jadi mesti dipahami bahwa alam ini bukan benar-benar dha>t Allah dan berbeda dengan Allah. Alam itu adalah baru karena ia tercipta dari pancaran wujud-Nya, ia bukan pula wujud yang menyertai Allah melainkan wujud yang diciptakan oleh-Nya dan berada pada tingkat di bawah-Nya.[58]
Lebih lanjut ‘Abd al-Rauf al-Sinkili> menegaskan bahwasanya hamba akan tetap menjadi seorang hamba betapapun ia naik pada tingkat yang tinggi (taraqqi>), dan Allah tetap Allah meskipun Ia turun (tanazzul). Demikian juga hakekatnya juga tidak akan berubah, hakekat hamba adalah hamba dan tidak akan berubah menjadi hakekat Allah, demikian pula sebaliknya walau pada zaman azali sekalipun.[59] Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sheikh Yu>suf al-Maqassari> dalam Zubdat al-Asra>r untuk menegaskan keesaan Tuhan. Pendapat terakhir yang disebutkan oleh al-Sinkili>> juga senada dengan al-Ra>niri>. Kesamaan pendapat Sheikh Yu>suf al-Maqassari> itu terjadi karena adanya hubungan guru-murid antara dirinya dengan al-Ra>ni>ri>. Al-Maqassari> dalam karyanya, Safi>nat al-Naja>h}, mengetengahkan silsilah tarekat Qa>diriyyah dari al-Ra>ni>ri>, bahwasanya al-Ra>ni>ri> adalah sheikh dan gurunya.[60]
Dalam hal ini posisi al-Sinkili> adalah moderat, ia menunjukkan ketidaksepahamannya dengan pemahaman doktrin wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n yang dianggapnya terlalu menekankan imanensi Tuhan dalam alam (tashbi>h), dan seringkali terkesan mengabaikan sifat transendensi-Nya (tanzi>h). Namun demikian, al-Sinkili> juga tidak sependapat dengan al-Ra>ni>ri> yang menentang ajaran tersebut secara radikal.[61] Untuk itulah al-Sinkili> memberikan semacam reinterpretasi atas doktrin tersebut supaya dapat diterima oleh kalangan Muslim orthodox sekalipun. Sikap seperti inilah yang telah mengukuhkan al-Sinkili> menjadi seorang ulama santun yang sangat dihormati.
Sedangkan apa yang disampaikan oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah senada dengan al-Sinkili>. Ia dalam beberapa risalah yang ia tulis berbicara mengenai tajalli>, terutama dalam karyanya, Masha>hid dan Fath} al-Mulu>k. Dalam kitab Fath} al-Mulu>k, (kitab ini ditulis oleh ‘Abd Alla>h atas permintaan Sultan Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n) ‘Abd Alla>h menerangkan tentang Martabat Tujuh yang diformulasikan oleh al-Burhanpuri. Tetapi dalam kitab Masha>hid (kitab yang juga ditulis atas permintaan sultan yang sama dan ditulis lebih dulu dari kitab Fath} al-Mulu>k) ‘Abd Alla>h menerangkan mengenai tajalli> al-H{aqq melalui alam menjadi empat alam sebagaimana yang telah dijabarkan di atas.
‘Abd Alla>h menganggap bahwa tidak ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan. Alam ini merupakan bayangan-Nya dan instrument untuk bisa mengenal Tuhan. Wuju>d Tuhan dalam dha>t-nya tidak bisa dikonsepsikan, Ia adalah wuju>d yang tidak ada padanannya dan tak ada bandingannya. Adapun tajalli> yang digambarkan oleh ‘Abd Alla>h adalah gambaran untuk mengetahui dari Yang Satu ke yang banyak (min al-wah}da ila> al-kathrah).
‘Abd Alla>h juga menerangkan bahwa manusia adalah tempat tajalli> Tuhan yang paling sempurna, karenanya ia juga menerangkan tentang posisi di mana Tuhan bersemayam dalam tubuh manusia, hal ini diterangkannya dalam bentuk maqa>mat. Konsep maqa>mat yang berbeda dengan penjelasan maqa>mat para sufi sebelumnya, seperti al-Kalabadhi>, al-Qushayri>, al-Ghaza>li>, dll.hal senada juga ia terangkan dalam penjelasannya mengenai ru>h}. Bagi ‘Abd Alla>h, ru>h} manusia itu memiliki sifat yang sama dengan Tuhan. Ru>h} itu kekal, ia tidak diciptakan karena ia adalah Tuhan itu sendiri, ia tidak tidur, dan ia tidak mati dan pengaruhnya meliputi seluruh badan manusia. Ru>h} yang ada dalam diri manusia itu, bagi ‘Abd Alla>h, tidaklah “terletak di” badan, tetapi ia “bergantung” pada badan. Sehingga ketika ru>h} dicabut oleh Tuhan, maka manusia tidak lagi menjadi manusia dan hal itu menjadi akhir sejarahnya sebagai manusia yang terdiri dari ru>h}, jiwa dan badannya.
Meski ia berpandangan wuju>diyyah, tetapi dalam beberapa hal ia sangat menekankan peran penting shari’ah. Hal ini dapat dilihat dalam sistematika penulisan kitabnya, Masha>hid. Dalam kitab Masha>hid, ia menerangkan dua hal, yakni teori dan praktik tasawuf. Dalam hal teori ia menerangkan tentang tajalli> al-H{aqq dalam empat alam, hakikat manusia ditinjau dari segi rohaninya (ru>h}), dan qalb. Sedangkan dari segi praktik tasawuf ia mengajarkan juga dhikir-dhikir sebagai latihan rohani seorang sa>lik yang hendak bersatu dengan Tuhannya.
Dalam menerangkan dhikir-dhikir tersebut ‘Abd Alla>h mengingatkan para muridnya untuk tidak meninggalkan ajaran shari’at, terutama shalat fard}u di awal waktu dan dilaksanakan dengan berjama’ah. Sehingga dengan mempertimbangkan beberapa ajaran ‘Abd Alla>h di atas, penulis berkesimpulan bahwa posisinya dalam diskursus wuju>diyyah di Nusantara serupa dengan al-Sinkili, yakni sebagai ulama yang moderat, meskipun ia juga dipengaruhi oleh Shams al-Di>n dan Hamzah Fans}u>ri> dalam hal teori-teori wuju>diyyah-nya.[62] Meski ia mengajarkan dan mengamalkan ajaran wuju>diyyah, tetapi ia masih menekankan adanya dualism antara Kha>liq dan Makhlu>q, antara Tuhan dan Manusia, dan menyeimbangkan antara tashbi>h dan tanzi>h Tuhan.

E.   Penutup
Nama ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> ini terasa masih asing di telinga. Penulisan sejarah Banten hampir tidak pernah menyinggung namanya. Ada semacam historiographical gap dalam sejarah Banten, khususnya dalam tradisi intelektual di kesultanan Banten.
Lain halnya dengan apa yang terjadi di Aceh, di kesultanan Banten paham wuju>diyyah dapat berkembang tanpa adanya pengkafiran. Hal ini terjadi lantaran banyak sultan Banten yang cinta terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keislaman. Di antara para sultan Banten yang banyak menaruh perhatian kepada penulisan dan penyalinan teks-teks Islam adalah Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n yang memerintah Banten tahun 1753 – 1773. Dan dalam keterangan P. Voorhoeve, Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n ini tak sekadar cinta terhadap ilmu, terutama dalam bidang tasawuf, tetapi beliau juga turut melakukan dan mengamalkannya. Sang Sultan mendapatkan ijazah tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin ‘Ali> al-T}abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>, salah seorang guru dari ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.
Meskipun teks Masha>hid karya ‘Abd Alla>h al-Bantani>> ini ditulis atas permintaan Sultan Banten pada saat itu, namun penulisannya dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab pada saat itu hanya bisa dipahami oleh kalangan elite dan ulama besar di Banten, sehingga hal ini menggiring asumsi saya bahwa apa yang disampaikan oleh ’Abd Alla>h dalam teks itu bukanlah untuk konsumsi masyarakat awam. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang dijelaskan dalam teks adalah masalah wuju>diyyah, yang pada saat itu justru sedang menjadi perbincangan hangat di Nusantara dan banyak ulama menganggapnya sesat, terutama di Aceh.
’Abd Alla>h memberikan penekanan bahwa apa yang dijelaskan dalam Masha>hid secara umum merupakan penjelasan tentang tajalliya>t. Hal yang menarik dari sistematika penulisan dalam teks Masha>hid itu adalah bahwa ajaran ’Abd Alla>h bukan hanya pada tasawuf teoretis tetapi juga mengajarkan tasawuf praktis, sehingga bisa teks Masha>hid ini tak ubahnya seperti buku daras mengenai paham wuju>diyyah dan praktiknya. Sebuah kitab yang bisa dijadikan sebagai buku pegangan bagi para sa>lik yang ingin melakukan perjalanan spiritual menuju Allah. Namun sayangnya, beberapa istilah tasawuf tidak ia terangkan secara komprehensif, karenanya kitab ini akan susah dimengerti bagi para murid atau para penempuh jalan spiritual tahap pemula untuk mempelajarinya secara otodidak (apalagi konsumsi masyarakat umum) tetapi harus mendapatkan bimbingan dari guru spiritual atau murshid. Dengan kata lain,’Abd Alla>h  dalam keryanya tersebut hendak menggambarkan: 1) posisi Tuhan, alam, dan manusia; 2) hubungan antara Tuhan dengan alam dan manusia; 3) cara mencapai kekekalan bersama Tuhan (baqa>’ bi Alla>h).
Tuhan menurut ’Abd Alla>h adalah dhat yang tak bisa dibandingkan dengan apapun dan tak terkonsepsikan. tidak ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan. Alam ini merupakan bayangan-Nya dan instrument untuk bisa mengenal Tuhan. Wuju>d Tuhan dalam dha>t-nya tidak bisa dikonsepsikan, Ia adalah wuju>d yang tidak ada padanannya dan tak ada bandingannya. Adapun tajalli> yang digambarkan oleh ‘Abd Alla>h adalah gambaran untuk mengetahui dari Yang Satu ke yang banyak (min al-wah}da ila> al-kathrah). Ia ada dengan dan bersama dhat-Nya, tak seorang pun yang dapat mengetahui-Nya. Ia hanya dapat diketahui dari mashhad-Nya (locus penampakan-Nya). Karena itu, perlu diketahui bagaimana ia memanifestasikan diri-Nya dalam alam (macrocosmos) dan manusia (microcosmos). 
Meski ia berpandangan wuju>diyyah, tetapi dalam beberapa hal ia sangat menekankan peran penting shari’ah. Hal ini dapat dilihat dalam sistematika penulisan kitabnya, Masha>hid. Dalam kitab Masha>hid, ia menerangkan dua hal, yakni teori dan praktik tasawuf. Dalam hal teori ia menerangkan tentang tajalli> al-H{aqq dalam empat alam, hakikat manusia ditinjau dari segi rohaninya (ru>h}), dan qalb. Sedangkan dari segi praktik tasawuf ia mengajarkan juga dhikir-dhikir sebagai latihan rohani seorang sa>lik yang hendak bersatu dengan Tuhannya.


[1] Lihat Titik Pudjiastuti, Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks (Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 1991)
[2] Ketika Sultan Abu al-Mafakhir meninggal pada 1651, ia digantikan oleh salah seorang cucunya yang semula menggunakan gelar Pangeran Ratu. Sebelum mengganti gelarnya, ia mengirim utusan ke Makkah dan kembali dengan membawa gelar dan nama baru, yakni Sult}a>n Abu> al-Fath} ‘Abd al-Fatta>h.
[3] Ada tiga terma penting terkait dengan wuju>diyyah ini, yakni ittih}a>d, h}ulu>l, dan wah}dat al-wuju>d. Ittih}a>d adalah sebuah tingkatan dalam pengalaman mistis (spiritual) ketika seorang sufi telah merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan. Ittih}a>d ini sering kali disandarkan kepada Abu> Yazi>d al-Bis}t}a>mi> sebagai orang yang memunculkan ajaran ittih}a>d dalam tasawuf. Terma yang kedua adalah h}ulu>l yang dibawa oleh al-H{allaj yang menurut Abu> Nas}r al-H{alla>j, h}ulu>l berarti Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu setalah sifat-sifat kemanusiaannya dilenyapkan. Terminologi ketiga adalah wah}dat al-wuju>d yang sering disandarkan kepada Ibn ‘Arabi> meski dalam tulisan-tulisannya, Ibn ‘Arabi> tidak pernah menggunakan istilah wah}dat al-wuju>d ini. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi>: Wah}dat al-Wuju>d Dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina,1995), hlm. 36, RA. Nicholson, "Ittihad" dalam MT. Houtsama, et. all (ed.) First Encyclopaedia of Islam, Jilid 4, (Leiden EJ. Brill, 1987), hlm. 565. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1990). hlm. 88
[4] Judul dari tiga teks keagamaan yang ditanyakan tersebut adalah Marqum, Muntahi (judul salah satu karya Hamzah Fansuri), dan wujudiyyah.  Lihat Titik Pudjiastuti, Sajarah Banten…pupuh 37.7, 42.26
[5] Al-Lama’a>n fi> Takfi>r Man Qa>la bi Khalq al-Qur’a>n (Cahaya Terang: Menerangkan tentang kafirnya Orang yang Mengatakan Al-Qur’an adalah Makhluk), dideskripsikan secara ringkas oleh Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nu>r al-Di>n al-Raniri> (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 55-56.
[6] Membicarakan doktrin wah}dat al-wuju>d dalam tradisi Sufism, orang biasanya mengaitkannya pada sosok Ibn ‘Arabi>> (569/1165 – 638/1240).[6] Hal ini tidaklah selamanya salah karena wah}dat al-wuju>d sebagai sebuah doktrin baru established setelah ia dilansir oleh Ibn ‘Arabi>>, meskipun studi belakangan membatalkan tesis tersebut. Pasalnya, doktrin senada telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn ‘Arabi>> seperti Ma’ru>f al-Karkhi> (w. 200/815), seorang sufi dari Baghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn ‘Arabi>> dianggap orang pertama yang memperkenalkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah”. Mengenai perdebatan asal mula doktrin wah{dat al-wuju>d ini dapat dilihat pada Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi…, hlm. 34-35.
[7] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Penerbit Mizan, 1994) cetakan II. hlm. 278
[8] Abdurrahman Wahid, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, pengantar dalam Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001). h. xxv
[9] Oman Fathurahman, Tanbih al-Masy: Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999). h. 36
[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,… h. 182
[11] T.W. Arnold, The Preaching of Islam, A History of Propagation of the Muslim Faith, (London : Luzac & Company, 1935), p. 363-364
[12] Lihat, MC. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, 1200 2004, (Jakarta: Serambi, 2005), p. 28 – 29.
[13] Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607 1636, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), p. 152
[14] T.W. Arnold, The Preaching of Islam…, p. 336
[15] Lihat Babad Tanah Jawa, (Semarang: Dahara, 1997), hlm. 80 – 84
[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Preliminary Statement on General Theory of the Islamization of the Malay Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), p. 13
[17] AH. John. “Islam in Southeast Asia; Reflecting and new Directions” dalam Indonesia, No, 19, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, hlm. 45
[18] Abdul Hadi W. M. “Keberadaan Tasawuf Relevansinya di Nusantara” dalam http://icasjakarta.wordpress.com/2008/04/02/keberadaan-tasawuf-dan-relevansinya-di-indonesia/
[19] Oman Fathurahman, Tanbih al-Masy… hlm. 21.
[20] Penanggalan ini diambil dari catatan Yoseph iskandar dkk, Sejarah Banten, (Jakarta: Tryana Sjam’un Corp, 2001). Namun Martin Van Bruinessen memiliki pendapat berbeda mengenai kelahiran dan kematian Sultan Zainal Asyikin, yakni 1753-1777 M. lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, cet III (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 269.
[21] Naskah ini penulis dapatkan dari masyarakat di daerah Pontang, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Karena itu manuskrip ini kemudian kami beri nama “Manuskrip Pontang”. Manuskrip tersebut merupakan sebuah koleksi tulisan ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani> dan memuat setidaknya empat macam tarekat, yakni Syattariyah, Qadiriyah, Naqhsabandiyyah, dan Rifa’iyah. Hal ini pun menunjukkan bahwa Abdul Qahhar merupakan guru dari empat tarekat tersebut.
[22] Lihat ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>, Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik (naskah yang penulis gunakan dalam penelitian ini dan ditemukan dari tangan masyarakat Pontang, Serang, Banten), hlm. 94. selanjutnya disebut Mashahid…
[23] Carl Brockelmann, Geschichte der Arabischen Litteratur, Vol. II, (Leiden: E.J. Brill, 1949) hlm. 422
[24] L.W.C. van den Berg dan Dr. R. Friederich, Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et Scientatiarum quae Bataviae Floret Asservatorum Catalogum (Bataviae – Hage Comitis, 1873). hlm. 145
[25] Sukar, “Banten, Spirit Kemajuan Literasi Balenda” dalam berita harian Radar Banten, Selasa, 27 Juni 2006
[26] Bayu Suryaningrat, Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundur, Cianjur (Jakarta: Rukun Warga Cianjur, t.t.), hlm. 122-124
[27] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning… hlm. 269
[28] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning… hlm. 270
[29] Ibid.,
[30] Manuskrip ini dapat kita temukan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan kode MS. A III.
[31] L.W.C. van den Berg dan Dr. R. Friederich, Codicum Arabicorum …hlm. 115
[32] Carl Brockelmann, Geschichte... hlm. 422
[33] ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>, Fath} al-Mulu>k lli Yas}ila ila> Ma>lik al-Mulu>k ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k dalam Kumpulan Naskah Perpustakaan Nasional R.I. kode A.111
[34] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), p. 59
[35] See Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence, (New York: State University of New York Press, 1992) p. 48.
[36] Ibid.,
[37] Ibid.,
[38] Mulla Sadra, al-H{ikmat al-Muta’a>liya, jilid I (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1410 H), hlm. 266.
[39] Dalam Manuskrip Pontang ini, saduran dari kitab Tuh}fah dapat dijumpai pada halaman 142-145
[40] Dahlan, Aziz, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Manusia dalam Tasawuf Syamsudin Samatrani. (Padang:IAIN IB Press, 1999). hlm. 24.
[41] Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi tentang Ajaran Tasawuf Abd al-Shamad al-Palembani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 22
[42] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning…, hlm. 84.
[43] Alwi Shihab, Islam Sufistik …, hlm. 148, dan Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi…, hlm. 25.
[44] Pemaparan mengenai konsep Martabat Tujuh ini dirujuk dari saduran kitab Tuh}fah yang ada dalam Manuskrip Pontang halaman 142-145
[45] Suntingn teks Zina>t al-Muwah}h}idi>n dalam Hadi WM, Abdul, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. (Bandung: Mizan, 1995). hlm. 84 – 86.
[46] Izutsu, Toshihiko, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts. (California: The University of California Press, 1984). hlm. 11
[47] ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r, Masha>hid…, hlm. 106
[48] Pembahasan mengenai tokoh-tokoh sufi Nusantara sejak Hamzah Fansuri hingga ‘Abd al-Muhyi Pamijahan telah penulis bahas dalam bab II, karenanya dalam bab ini penulis hanya akan membahasnya secara singkat untuk mengetahui posisi ‘Abd Allah dalam konstelasi diskursus wujudiyyah di Nusantara.
[49] Ahmad Daudi, Syekh Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>: Sejarah, karya dan Sanggahan Terhadap Wuju>diyyah di Aceh (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 33
[50] Syed Muh}ammad Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: Univ. of Malaya Press, 1970), hlm. 9
[51] Lihat Hamzah Fansuri “Asra>r al-‘A<rifi>n”…, hlm. 128.
[52] Ibid, hlm. 153
[53] al-Sumatrani>, Jawhar al-H{aqa>’iq, hlm. 251, bandingkan dengan konsep ahadiyat Hamzah Fansuri dalam Shara>b al-‘A<shiqi>n, hlm. 196.
[54] Lihat al-Sumatrani>, “Risa>lat al-Tabayyun al-Mula>h}az}a>t al-Muwah}h}idi>n wa al-Mulh}idi>n fi> Dhikr Alla>h,” dalam CAO Van Niewenhuijze, Samsu’ l-Din van Pasai, Bijdrage Tot De Kennis Der Sumatraanche Mystiek, (Leidien : EJ Briil, 1945), hlm. 269. Dalam Jauhar al-Daqa>iq hanya dijelaskan lima martabat yang martabat yang pertama. Dan martabat yang kelima mempergunakan istilah ‘a>lam al-shaha>dah dan bukan ‘a>lam al-mitha>l. Lihat Jawhar al-H{aqa>’iq, hlm. 245 – 270.
[55] Al-Ra>ni>ri>, Asra>r al-Insa>n, MS, Jakarta: Perpustakaan Nasional, ML
[56] “Maka sebut mereka itu bahwa i’tikad kami bahwasanya Allah Ta’ala itu diri kami dan wujud kami, dan kami diri-Nya dan wujud-Nya. Dan lagi pula kata mereka itu bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam….. Dan lagi pula kitabnya yang bernama Khirqah dengan sumpahnya dalam kitab itu demikian bunyinya : “wa Alla>h bi Alla>h wa kala>m Alla>h”, insan itulah Allah dengan tiada syak dalamnya dari karena insan itulah libas yang kesudahan. Maka libas dan empunya libas sewujud dan bersuatu jua. Dan barang siapa mengenal dengan makrifah ini, maka sampailah ia dengan makrifah kunhi dzat Allah dan wujud-Nya, seperti firman Allah, “wa fi> anfusikum afala> tubs}iru>n” yakni bahwasanya wujud insan itulah wujud Allah dan wujud Allah itulah wujud insan.
Maka dari perdebatan itu Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri> menjawab :”Hayawanat dan nabatat dan jamadat dan najasat sekaliannya adalah Allah …. Dan lagi jikalau benar seperti kata mulhid itu, niscaya adalah segala barang yang kita makan dan barang yang kita minum dan barang yang kita tunu ke dalam api sekaliannya itu Allah. Dan jikalau kita sumpah akan seseorang, niscaya gugurlah sumpah itu akan Allah. Dan jikalau kita bunuh dan kita cincang akan seseorang manusia atau lainnya, niscaya adalah yang kita bunuh dan yang kita cincang itu akan Allah jua.” Lihat Fath} al-Mubi>n, seperti dikutip dalam Daudi, Allah dan Manusia…, hlm. 275 – 276.
[57] Menurut Rinkes yang mengkaji riwayat al-Sinkili menyatakan bahwa kemungkinan besar al-Sinkili meninggalkan Aceh pada tahun 1642. lihat, Azra, Jaringan Ulama…, hlm. 191.
[58] Al-Sinkili>, Baya>n Tajalli>, Jakarta: Perpustakaan Nasional, ML, No. 115.
[59] Lihat, al-Sinkili>, “Tanbi>h al-Ma>shi>”, hlm. 98:
وقل واعتقد ان العبد عبد وان ترقى والرب رب وان تترل والحقائق لاتنقلب اعنى حقيقة العبد لاتصير حقيقة الرب وبالعكس ولو فى الازلى.
[60] Azra, Jaringan Ulama…, hlm. 179 – 184.
[61] Azra, Jaringan Ulama…, hlm. 191.
[62] Keterpengaruhannya ini dapat dilihat dari adanya karya Hamzah, al-Muntahi>, yang disalin oleh ‘Abd Alla>h. Selain itu, karya Shams al-Di>n juga (yakni Jawhar al-H{aqa>’iq) didapati dalam satu bentuk kompilasi bersama dengan karya ‘Abd Alla>h, Masha>hid di Perpustakaan Nasional R.I. kode A. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar