Adalah
sebuah fenomena yang sudah diakui bahwa gerakan mahasiswa merupakan bagian
variable penting yang berperan dalam proses perubahan politik di banyak negara.
Indikasi dari posisi mahasiswa yang menempati posisi sosial strategis untuk
mendorong perubahan politik ini dapat dipahami antara lain karena secara
materil mereka belum terkontaminasi dan bergantung oleh kerja-kerja ekonomis
yang fasilitasnya disediakan oleh negara (birokrasi) maupun korporasi-korporasi
partikelir. Selain itu, kapasitas intelektual mereka (walaupun tidak semua)
sudah cukup mampu menganalisis realitas sosial di sekeliling mereka. Perguruan
tinggi sebagai representasi negara dalam skala kecil dan regulasi-regulasi
akademik yang mereka temui di dalamnya telah menjadi ajang menganalisis keadaan
sosial, bahkan secara gradual sering menjadikannya graduasi keadaan menjadi massa aksi yang sangat
besar.
Keadaan
demikian telah sering kita dengar di banyak negara, mereka seringkali memainkan
peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan demokratisasi
dan keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa (terutama pada 1998)
terbukti berhasil membuka kran demokratisasi. Bahkan jauh sebelum nama Indonesia
diakui secara de jure sebagai nama negara ini, kaum intelektual pribumi
yang sebagian besar mereka adalah mahasiswa, telah melakukan manuver penting
demi keadilan, kemanusiaan dan lebih penting kemerdekaan Indonesia .
Misalnya, ketika diasingkan ke Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara pada 1918 di
Den Haag mendirikan Indonesisch Persbureau (kantor berita Indonesia), berdirinya
Budi Utomo, SDI dan kemudian SI, merupakan bagian dari buah kegelisahan kaum
intelektual yang mayoritas mereka adalah mahasiswa demi kemanusiaan, keadilan
dan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah
mahasiswa yang cukup heroik tersebut mengundang kalangan masyarakat melakukan
interpelasi kepada mereka pada saat sekarang. Pasalnya, realitas saat ini
justru merasakan ambivalensi karena intensitas idealisme dan kepedulian sosial
mereka dinilai mandul. Banyak kalangan menilai prestasi mereka semakin merosot,
karena seringnya mengedepankan prestise dibanding prestasi, dilihat dari
semakin mencuatnya kalangan hippies dari komunitas mahasiswa. Kehidupan
hedonis telah menggoda mereka sehingga terjadilah perubahan paradigma (paradigm
shift), yang banyak kalangan menilainya sebagai degradasi moral-intelektual.
Paling banter logika SD (sekolah dasar) yang mereka pakai dengan mendasarkan
prestasi dari nilai ujian semata. Padahal peran asasi mereka adalah tanggung
jawab moral-intelektual bagi masyarakat.
Menurut
Anas Syahrul Alimi (2002), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat
membangun prestasi mahasiswa kembali sebagai penggerak perubahan sosial secara
logis-intelektual. Pertama, diperlukan sebuah common denominator
sebagai kata kunci untuk beraliansi dan beramalgasi (menyatukan)
fragmen-fragmen sehingga membentuk satu identitas baru, misalnya dengan
menggunakan "keadilan social", "demokrasi" sebagai lawan
dari "tirani" dan "otoritarianisme". Kedua,
diperlukan transisi gerakan, dari aksi massa
ke wacana demokrasi. Hal ini diperlukan sebagai equilibrium
(keseimbangan) manuver mahasiswa antara aksi dan wacana yang diusung sehingga
aksi yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara logis-intelektual. Ketiga,
perlunya metamorfosis gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dapat mengukuhkan signifikansi
peran dalam proses demokratisasi dengan jalan pemberdayaan dan penguatan elemen
non-mahasiswa seperti tani, buruh, dan kaum miskin kota . Karena diakui atau tidak, rakyat bawah
hanya dijadikan sebagai obyek politik partai. Bahkan, parpol-parpol yang
dicitrakan sebagai partai rakyat kecil, belum mengembangkan sistem kaderisasi
dan kurikulum pendidikan politik bagi massa
pendukungnya. Maka disinilah peran mahasiswa sebagai penumbuh dan penguat
masyarakat sipil (civil society). Keempat, gerakan mahasiswa
harus bisa menjadi oposisi permanent. Untuk itu, gerakan mahasiswa perlu
melihat kembali landasan moral gerakan, yakni keadilan dan kebenaran sehingga
dapat terealisasi secara kontinyu dan konsisten. Mengenai ini, meminjam istilah
Eep Saefullah Fatah, dibutuhkan "oposisi kaki lima " atau ekstraparlemen dan diyakini
bisa dilakukan oleh gerakan mahasiswa.
Karena
itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah membangun kesadaran diri mahasiswa
akan tanggungjawab moral-intelektualnya bagi mayarakat, sehingga mereka tidak
lagi menawarkan prestise-hedonistik dan sebatas prestasi nilai ujian (seperti
anak SD?), tetapi justru menyuguhkan berbagai gagasan yang direalisasikan demi
kebenaran dan keadilan social sebagai prestasi gemilang mereka. Semoga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar