Kamis, 09 Februari 2012

PARADIGM SHIFT MAHASISWA

Zye


Adalah sebuah fenomena yang sudah diakui bahwa gerakan mahasiswa merupakan bagian variable penting yang berperan dalam proses perubahan politik di banyak negara. Indikasi dari posisi mahasiswa yang menempati posisi sosial strategis untuk mendorong perubahan politik ini dapat dipahami antara lain karena secara materil mereka belum terkontaminasi dan bergantung oleh kerja-kerja ekonomis yang fasilitasnya disediakan oleh negara (birokrasi) maupun korporasi-korporasi partikelir. Selain itu, kapasitas intelektual mereka (walaupun tidak semua) sudah cukup mampu menganalisis realitas sosial di sekeliling mereka. Perguruan tinggi sebagai representasi negara dalam skala kecil dan regulasi-regulasi akademik yang mereka temui di dalamnya telah menjadi ajang menganalisis keadaan sosial, bahkan secara gradual sering menjadikannya graduasi keadaan menjadi massa aksi yang sangat besar.
Keadaan demikian telah sering kita dengar di banyak negara, mereka seringkali memainkan peranan penting menjadi barisan terdepan yang selalu meneriakkan demokratisasi dan keadilan sosial. Di Indonesia, gerakan mahasiswa (terutama pada 1998) terbukti berhasil membuka kran demokratisasi. Bahkan jauh sebelum nama Indonesia diakui secara de jure sebagai nama negara ini, kaum intelektual pribumi yang sebagian besar mereka adalah mahasiswa, telah melakukan manuver penting demi keadilan, kemanusiaan dan lebih penting kemerdekaan Indonesia. Misalnya, ketika diasingkan ke Negeri Belanda, Ki Hajar Dewantara pada 1918 di Den Haag mendirikan Indonesisch Persbureau (kantor berita Indonesia), berdirinya Budi Utomo, SDI dan kemudian SI, merupakan bagian dari buah kegelisahan kaum intelektual yang mayoritas mereka adalah mahasiswa demi kemanusiaan, keadilan dan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah mahasiswa yang cukup heroik tersebut mengundang kalangan masyarakat melakukan interpelasi kepada mereka pada saat sekarang. Pasalnya, realitas saat ini justru merasakan ambivalensi karena intensitas idealisme dan kepedulian sosial mereka dinilai mandul. Banyak kalangan menilai prestasi mereka semakin merosot, karena seringnya mengedepankan prestise dibanding prestasi, dilihat dari semakin mencuatnya kalangan hippies dari komunitas mahasiswa. Kehidupan hedonis telah menggoda mereka sehingga terjadilah perubahan paradigma (paradigm shift), yang banyak kalangan menilainya sebagai degradasi moral-intelektual. Paling banter logika SD (sekolah dasar) yang mereka pakai dengan mendasarkan prestasi dari nilai ujian semata. Padahal peran asasi mereka adalah tanggung jawab moral-intelektual bagi masyarakat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan degradasi paradigma tersebut. Pertama, kurangnya kesadaran dalam diri sebagai individu yang bertanggungjawab secara moral bagi masyarakat atas intelektualitas mereka. Kedua, lingkungan pembelajaran (dalam arrti luas) yang tidak kondusif, namun lingkungan ini memiliki banyak faktor lain termasuk lingkungan kampus atau pergaulan hidup yang mempengaruhi pola pikir dan paradigma mereka.
Menurut Anas Syahrul Alimi (2002), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat membangun prestasi mahasiswa kembali sebagai penggerak perubahan sosial secara logis-intelektual. Pertama, diperlukan sebuah common denominator sebagai kata kunci untuk beraliansi dan beramalgasi (menyatukan) fragmen-fragmen sehingga membentuk satu identitas baru, misalnya dengan menggunakan "keadilan social", "demokrasi" sebagai lawan dari "tirani" dan "otoritarianisme". Kedua, diperlukan transisi gerakan, dari aksi massa ke wacana demokrasi. Hal ini diperlukan sebagai equilibrium (keseimbangan) manuver mahasiswa antara aksi dan wacana yang diusung sehingga aksi yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara logis-intelektual. Ketiga, perlunya metamorfosis gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa dapat mengukuhkan signifikansi peran dalam proses demokratisasi dengan jalan pemberdayaan dan penguatan elemen non-mahasiswa seperti tani, buruh, dan kaum miskin kota. Karena diakui atau tidak, rakyat bawah hanya dijadikan sebagai obyek politik partai. Bahkan, parpol-parpol yang dicitrakan sebagai partai rakyat kecil, belum mengembangkan sistem kaderisasi dan kurikulum pendidikan politik bagi massa pendukungnya. Maka disinilah peran mahasiswa sebagai penumbuh dan penguat masyarakat sipil (civil society). Keempat, gerakan mahasiswa harus bisa menjadi oposisi permanent. Untuk itu, gerakan mahasiswa perlu melihat kembali landasan moral gerakan, yakni keadilan dan kebenaran sehingga dapat terealisasi secara kontinyu dan konsisten. Mengenai ini, meminjam istilah Eep Saefullah Fatah, dibutuhkan "oposisi kaki lima" atau ekstraparlemen dan diyakini bisa dilakukan oleh gerakan mahasiswa.
Karena itu, yang sangat diperlukan saat ini adalah membangun kesadaran diri mahasiswa akan tanggungjawab moral-intelektualnya bagi mayarakat, sehingga mereka tidak lagi menawarkan prestise-hedonistik dan sebatas prestasi nilai ujian (seperti anak SD?), tetapi justru menyuguhkan berbagai gagasan yang direalisasikan demi kebenaran dan keadilan social sebagai prestasi gemilang mereka. Semoga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar