Munculnya berbagai aksi kekerasan
dan radikalisme agama akhir-akhir ini semakin menunjukkan skala yang massif.
Setelah teror bom buku mereda, publik dikejutkan dengan bom bunuh diri di
Cirebon dan rencana teror bom Serpong, Tangerang. Tidak hanya itu, public juga
dikejutkan dengan isu aktivitas keagamaan mengatasnamakan Negara Islam
Indonesia (NII) yang sangat meresahkan, karena korbannya bukan hanya
orang-orang awam namun juga para mahasiswa yang notabene terpelajar. Melihat
kenyataan sosio-historis sebagai bangsa majemuk dan plural, radikalisasi agama
dapat mengancam masa depan kerukunan dan kedamaian masyarakat juga nilai-nilai
kebangsaan di Indonesia.
Bangsa,
menurut Benedict Anderson, merupakan suatu komunitas “terbayang”,(Anderson,
2001) karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan
kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka
bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka sebagaimana bentuk
organisasi kecil semisal koperasi di tingkat RT. Sebagaimana sebuah organisasi,
suatu bangsa dibangun di atas perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai
anggota komunitas bangsa tersebut. Meski begitu, inilah yang memungkinkan
begitu banyak orang bersedia melenyapkan nyawa orang lain, bahkan merenggut
nyawa sendiripun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.
Namun,
kondisi kebangsaan seperti itu sesungguhnya memberikan ruang-ruang yang rapuh
dalam pelaksanaannya ketika cita-cita bersama semua elemen bangsa terasa
semakin buram. Pelaksanaan kenegaraan yang dijiwai oleh nilai-nilai
kebangsaan—lengkap dengan instrument sosiologis, politis, ideologis dan
ekonomis—dapat saja menuai ketidakpuasan pihak-pihak tertentu. Dibalut keyakinan seperti itu, radikalisme agama maupun
teror kekerasan kian tumbuh dengan bertemunya faktor sosial politik yang
dianggap sebagai penyubur gerakan. Meminjam ungkapan Komaruddin Hidayat (2011)
masih tumbuhnya terorisme di tanah air antara lain karena pemerintah dianggap
gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, menegakkan hukum dan memenuhi janji.
Korupsi yang kian meluas, ekonomi rakyat kecil sulit, jaminan keamanan rendah
dan pemimpin pemerintahan tidak bisa memberikan teladan. Kekecewaan itu bertemu
dengan kondisi politik internasional yang kerap dianggap menyuguhkan
ketidakadilan bagi umat tertentu.
Hubungan pararel antara radikalisasi agama dan
aksi kekerasan secara teoretis seperti dijelaskan Horace M. Kallen (Zada,
2002), ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisasi
merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons
tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Kedua,
radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain.
Ciri tersebut menunjukkan bahwa di dalam
radikalisasi terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Dan ketiga,
kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang
mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran
dengan sistem lain yang akan diganti. Kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan
munculnya sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.
Radikalisme agama pada dasarnya dibentuk oleh
penafsiran agama yang tunggal. Dalam ruang tafsir seperti itu terdapat klaim
kebenaran pemahaman keagamaan yang diyakini hanya dimiliki oleh penafsir dan
kelompoknya. Klaim tersebut membawa ekses praksis berupa fanatisme agama yang
pada ujungnya membawa sikap-sikap radikal. Praksis keagamaan yang demikian
menolak pandangan akan munculnya pluralisme atau adanya inklusifitas.
Islam memiliki banyak
kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja,
eksplorasi atas makna-makna perdamaian dalam Islam telah dicemari oleh beberapa
perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Untuk itu, tugas kaum agamawan adalah
bagaimana menawarkan solusi atas kekerasan ini agar ada pernyataan bahwa
kekerasan bukanlah ajaran Islam.
Fakta beberapa oknum pelaku
pengeboman atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok agama (Islam) memang
bisa saja dibenarkan bahwa itu dilakukan oleh sekelompok yang mengatasnamakan
Islam. Tapi, apakah gerakan seperti itu merupakan reprsentasi dari wajah Islam
secara keseluruhan? Jawabannya tentu Tidak!!! Apa yang dilakukan oleh gerakan
Islam radikal sudah mengandung kompleksitas kondisional. Artinya, dengan tameng
agama, apa yang mereka lakukan merupakan penyertaan dari sekian banyak
latarbelakang, yakni politis, ideologis, dan kepentingan yang sebetulnya bukan
dalam wilayah agama yang melingkupi aksi mereka. Jadi, itu bukan an sich
karena sisi penafsiran yang merupakan hasil pemaknaan agama yang sempit saja.
Kalau kita meminjam analisis Michael
Faucoult, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal sudah menggiring agama
dalam hubungannya antara pengetahuan dan kekuasaan (power and knowledge).
Pengetahuan yang ingin diwacanakan oleh kelompok Islam radikal adalah bahwa
hukum Tuhan (ahkamullah) harus diimplementasikan dalam kehidupan
manusia. Dalam lokus politik, biasanya wacana yang digelar yaitu bentuk
penyatuan al-Din wa al-Dawlah (agama dan negara). Tapi, wacana
(pengetahuan) agama itu diperkuat dengan perangkat kekuasaan. Sehingga, gerakan
yang mereka lakukan sudah sangat mengandung unsur ideologis.
Gerakan Islam radikal muncul
karena pemahaman agama yang cenderung tekstualis, sempit, dan hitam-putih.
Pemahaman seperti ini akan dengan mudah menggiring sang pembaca pada sikap
keberagamaan yang kaku. Pembacaan agama tidak bisa terlepas dari konteks historisnya.
Pemahaman agama sangat dimanis. Untuk itulah, pembacaan yang terbuka akan
menghindarkan kita dari sikap-sikap yang berbau kekerasan.
Karena itu, acara halaqah ini
merupakan momentum yang tepat untuk mendeklarasikan kembali komitmen kuat dari
para kiyai, ulama dan cendikiawan muslim serta umat Islam secara luas untuk
selalu menebarkan wajah Islam yang ramah dan selalu menjadi rahmatan lil
‘alamin, serta bersama-sama berani “pasang badan” untuk menghadang
segala bentuk radikalisme dan kekerasan atas nama agama (Islam). Karena kita
yakin, meminjam definisi Muhammad Imarah, bahwa al-Islamu Ilahiyyul Masdar
wa Insaniyyatul Maudhu’ (Islam merupakan agama yang berasal dari Allah dan
berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan). Wallahu A’lam bis Shawab..
*bahan diskusi Halaqah Ulama NU se-Provinsi Banten di Hotel Mangkuputera, Cilegon 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar