oleh: Ade Fakih Kurniawan
A. Pendahuluan
Pembahasan mengenai hubungan erat
Melayu-Nusantara dengan sejumlah ulama terkemuka di Haramyan, khususnya dalam
kehidupan intelektual-keagamaan dan politik, juga tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan mengenai hubungan Kesultanan Banten dengan Timur Tengah. Kesultanan
Banten—yang didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan
Demak di Jawa Tengah dan kemudian dihapuskan oleh Daendels pada tahun
1808—selain menggunakan gelar maulana bagi para penguasanya, juga
mengenal gelar sultan. Penguasa pertama yang mendapatkan gelar ini
adalah putera Maulana Muh}ammad, ‘Abd al-Qa>dir (1596 – 1651). Gelar ini
secara sengaja dipintanya dari penguasa Makkah, Syarif Besar, melalui utusannya
yang dikirim ke Makkah dan kembali ke Banten pada tahun 1638. Utusan tersebut
kembali ke Banten dengan membawa berbagai hadiah termasuk nama baru bagi Sang
Penguasa, Sult}a>n Abu> al-Mafa>khir Mah}mu>d ‘Abd al-Qa>dir.
Selanjutnya gelar tersebut dipakai oleh keturunannya dengan mengulangi
permintaan yang sama, gelar dan nama baru, kepada Syarif Besar di Makkah pada
saat mereka naik tahta.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dan memperkuat legitimasi kekuasaannya dan
untuk menunjukkan suatu hubungan dengan pusat kebudayaan Islam, yakni Makkah.
Para penguasa Banten tampaknya sangat
menaruh minat yang sungguh-sungguh terhadap masalah-masalah akidah dan tasawuf
yang sangat dalam dan rumit (tasawuf falsafi). Misalnya, dalam Sajarah
Banten—sebuah karya abad ke-17—menceritakan perihal utusan yang dikirim ke
Makkah untuk mencari pendapat atau penjelasan yang berwibawa tentang tiga teks
keagamaan yang rupanya mengandung doktrin-doktrin tasawuf wuju>diyyah
seperti yang diuraikan oleh Hamzah Fans}u>ri>. Selain itu, utusan
tersebut diperintahkan untuk meminta pengiriman ulama yang berpengetahuan luas
dari Makkah untuk memberikan penerangan di Banten.
Utusan Banten tersebut bertemu dengan seorang ulama terkenal Muh}ammad ‘Ali>
ibn ‘Alla>n, namun mereka tidak berhasil membujuknya untuk datang ke Banten.
Untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Sang Sultan, Abu> al-Mafa>khir
dan puteranya, Abu> al-Ma’a>li> Ah}mad, Ibn ‘Allan menulis dua risalah
yang masih ada hingga kini. Salah satunya berbicara mengenai pertanyaan Sultan
tentang karya al-Ghazali, Nas}i>h}at al-Mulu>k (Nasihat untuk Para
Raja), sebuah teks yang pasti sangat menarik bagi penguasa muslim, sedangkan
risalah yang lain membahas tentang masalah yang bersifat mistik-metafisik. Sang
Sultan rupanya mempunyai minat yang sangat besar terhadap kontroversi seputar
doktrin-doktrin tasawuf wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri>, karenanya, ia
kemudian berkonsultasi dengan penentangnya yang paling terkenal, Nu>r
al-Di>n al-Ra>ni>ri>, yang pada waktu itu akan meninggalkan Aceh
untuk kembali ke tanah kelahirannya, Gujarat. Al-Ra>ni>ri> juga
menjawab pertanyaan-pertanyaan Abu> al-Mafa>khir dalam salah satu dari
beberapa risalahnya yang terakhir, yang memfokuskan pembahasannya pada salah
satu doktrin khusus yang dikemukakan oleh Hamzah.
Minat yang sungguh-sungguh dari para
penguasa Banten ini pun tercermin dalam usaha mereka menjalin hubungan yang
baik dengan para ulama, baik ulama setempat maupun ulama asing, dan banyak di
antara mereka yang mendapatkan kedudukan yang sangat berpengaruh di istana
(termasuk sebelum abad ke-19, jabatan qa>d}i> atau Pekih
Najmuddin selalu diberikan kepada ulama asal Makkah yang didatangkan oleh
Sang Sultan).
Ajaran tasawuf yang berkembang pada masa-masa
permulaan di Indonesia dapat dikategorikan sebagai mistik yang sangat identik
dengan paham wah}datul wuju>d atau
wuju>diyyah yang merupakan
pengembangan teori tajalliya>t Ibn
‘Arabi>. Doktrin wah}datul wuju>d atau wuju>diyyah ini trerpusat pada ajaran tentang
penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat. Konsep tujuh martabat ini kemudian dikenal sebagai
teori martabat tujuh yang terdiri dari ah}adiyyah, wah}dah, wa>h}idiyyah, ‘a>lam mitha>l, ‘a>lam arwa>h}, ‘a>lam ajsa>m, dan insa>n
ka>mil. Teori ide dasarnya
berasal dari ajaran Ibn ‘Arabi> ini, untuk pertama kalinya dikembangkan oleh
Fad}lulla>h al-Burhanpuri dalam karyanya Tuh}fah
al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi>.
Di Aceh, pada abad 17 khususnya, doktrin wuju>diyyah ini pernah menjadi bahan perdebatan di
kalangan para ulama sufi itu sendiri. Selain karena adanya factor
social-politik saat itu yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih,
kontroversi seputar doktrin wuju>diyyah ini juga diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan
doktrin tersebut. Pergumulan
wacana mistiko filosofi atau pemikiran tasawuf falsafi di Nusantara, yang oleh
Gus Dur dianggap telah mengambil bentuknya yang paling vulgar, mencuat terutama
peristiwa perseteruan antara Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>> versus
pengikut ajaran wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> dan Shams
al-Di>n al-Sumatrani>.
Dalam catatan sejarah, kontroversi
doktrin wuju>diyyah di Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Sani (1637-1641 M). Menurut Oman, latar belakang kontroversi tersebut
dimulai ketika Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>> (w. 1666)
mengeluarkan pernyataan (fatwa) yang cukup tegas dan sangat kontroversial
bahwa ajaran wuju>diyyah Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n
al-Sumatrani> adalah sesat.
Bahkan, seperti dikemukakan Azyumardi Azra, al-Ra>ni>ri>, yang notabene
termasuk ulama ortodoks tersebut, secara intensif menyebarkan propaganda
tentang kesesatan mereka dan menganggap kelompok ini menganut paham banyak
Tuhan (politeis) yang dengan demikian niscaya untuk dihukum mati.
Tasawuf falsafi mendapat tempatnya yang strategis di wilayah
Aceh pada masa Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatrani>.
Corak tasawuf kedua ulama ini dinilai oleh al-Ra>niri> sebagai wuju>diyyah.
Masalah wuju>diyyah ini kemudian diperdebatkan, diperselisihkan dan
bahkan diharamkan oleh Sheikh Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>>.
Memperbincangkan Hamzah Fans}u>ri> tidak bisa terlepas dari
setting sosial dan politik wilayah Aceh ketika itu. Sebagai salah satu pusat ekonomi dan agama, Aceh memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses islamisasi nusantara. Arnold menyatakan bahwa terdapat kemungkinan besar pada tahun 674 M telah terdapat pemukiman-pemukiman orang Arab di pantai Barat Sumatera.
Petunjuk pertama tentang muslim
Nusantara di bagian Sumatera adalah dengan
ditemukan nisan Sultan
Sulaiman bin ‘Abd Alla>h bin al-Basir yang
bertanggal 608 H. /1211 M. di
pemakaman Lamreh. Nisan yang selama ini dijadikan
patokan awal Islam
di Sumatera tengah adalah nisan Sultan Malik
al-Saleh yang bertanggal 696
H. / 1297 M. Ini menunjukkan bahwa pada awal abad
ke -13 M. sudah
berdiri kerajaan Islam di Sumatera Utara ini.
Kerajaan Aceh berkembang menjadi negara dengan kekuasaan politik dan
perdagangan yang besar berlangsung ketika pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607 – 1636 M.). Pada periode ini Kerajaan Aceh dengan cepat menjadi altenatif
jalur perdagangan menggantikan pelabuhan Malaka. Banyak para pedagang yang
mengalihkan rute perdagangannya yang semula transit di bandar Malaka berganti
jalur dan mendarat di Aceh. Selain itu ada kepentingan yang lain dari kerajaan
Aceh yakni untuk meningkatkan perekonomian negara, maka penguasa Aceh berusaha
semaksimal mungkin agar kapal-kapal singgah di Aceh.
Sebagai sentra ekonomi dan politik, kerajaan Aceh juga memiliki
hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di luar Aceh serta Timur Tengah.
Kerajaan Aceh menjalin hubungan perdagangan dengan misalnya bangsa Cina, India,
Turki, Jawa, dan bahkan Perancis, Portugis dan Belanda. Literatur Cina
Thong-his-yang-kao yang ditulis pada tahun 1618 M. mengetahui kejadian-kejadian
di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa pelabuhan
kerajaan Aceh menjadi daya tarik tersendiri bagi para pedagang, “Oleh karena
negeri itu jauh letaknya, mereka yang mendatanginya akan mendapatkan keuntungan
yang berlipat-lipat.” Hal ini didukung pula oleh kronik kerajaan Ming.
Kitab tasawuf paling awal yang muncul di Nusantara ialah Bah}r
al-La>hu>t (Lautan Ketuhanan) karangan ‘Abd Alla>h ‘A<rif (w.
1214 M.). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wuju>diyyah
Ibn ‘Arabi>> dan ajaran persatuan mistikal (fana>’) al-Halla>j.
Sheikh ‘Abd Alla>h ‘A<rif adalah pemuka tasawuf dari Arab. Beliau tiba di
Sumatera (Perlak, Pasai) pada tahun 1177 M. Menurut T. Arnold, Sheikh ‘Abd
Alla>h ‘A<rif termasuk Sufi paling awal yang menyebarkan Islam bercorak
tasawuf di Sumatera.
Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan misalnya Sunan Bonang dan Sunan Giri pergi Ke
Aceh untuk menuntut ilmu kepada Maulana Ishak setelah Maulana Ishak kembali
dari Blambangan,
ia dipercaya oleh Sultan Pasai untuk menyebarkan Islam di Blambangan, namun
tidak berhasil.
Atau pasca kekalahan Pasai dari Portugis banyak ulama yang pergi ke daerah lain
di nusantara seperti Maulana Makhdum yang dikenal dengan sunan Gunung Jati. Hal
ini membuktikan bahwa Aceh (Pasai) telah menjadi salah satu pusat intelektual
Islam di masanya.
Seperti disampaikan oleh John, bahwa kitab-kitab keagamaan yang beredar
di Aceh ditulis oleh para ulama di luar Aceh yang umumnya berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang membahas ilmu batin (tasawuf) menjadi hal yang digemari. Kitab
Fus}u>s} al-H{ikam, dan al-Futu>ha>t al-Makiyyah karya Ibn
‘Arabi>>, kitab al-Insa>n al-Ka>mil karya al-Ji>li>,
serta kitab Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al-Nabi> karya
al-Burhanpuri menjadi bacaan terpenting di Aceh.
Baru pada abad ke-16 muncul kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu. Sedangkan
kitab-kitab yang ada sebelumnya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara
kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu yang berpengaruh ialah Shara>b
al-‘A<shiqi>n (Minuman Orang Berahi), Asra>r al-‘A<rifi>n
(Rahasia–rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi> karangan Hamzah
Fans}u>ri> (wafat awal abad ke -17 M.) dan sebagainya.
Diskursus wah}datul wuju>d atau wuju>diyyah selalu
menjadi bahan polemik di kalangan ulama sufi. Menurut Oman,
disinyalisasi paling tidak ada dua faktor utama yang memicu terjadinya polemik,
yaitu faktor politis dan faktor yang timbul disebabkan perbedaan pemahaman terhadap
konsep tersebut. Dalam sejarahnya, polemik itu berakhir tragis, dengan
pembakaran karya-karya Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n
al-Sumatrani> serta pengejaran bahkan pembunuhan terhadap
pengikut-pengikutnya yang enggan bertobat.
Iklim yang tercipta akibat kontroversi doktrin wuju>diyyah di Aceh itu, tampaknya juga berpengaruh
pada pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa berikutnya. Naskah
yang penulis temukan di wilayah Banten dan ditulis oleh ulama lokal menunjukkan
dinamika intelektual yang terjadi pada kisaran abad ke-17 dan 18 di Nusantara.
Naskah itu ditulis oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
dengan judul Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik, menerangkan
tentang masalah tasawuf dan ditulis
atas permintaan seorang sultan Banten yang pada saat itu tengah memerintah,
yakni Sultan ‘Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn
‘A<shiqi>n (1753-1773 M)
putra Sultan Abu> al-Fath} Muh}ammad Shifa>’ Zayn al-‘A<rifi>n
(1733-1750 M).
Lain halnya dengan apa yang terjadi di
Aceh, di kesultanan Banten paham wuju>diyyah dapat berkembang tanpa
adanya pengkafiran. Hal ini terjadi lantaran banyak sultan Banten yang cinta
terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keislaman. Di antara para
sultan Banten yang banyak menaruh perhatian kepada penulisan dan penyalinan
teks-teks Islam adalah Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn
al-‘A<shiqi>n yang memerintah Banten tahun 1753 – 1773. Dan dalam
keterangan P. Voorhoeve, Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’
Zayn al-‘A<shiqi>n ini tak sekadar cinta terhadap ilmu, terutama dalam
bidang tasawuf, tetapi beliau juga turut melakukan dan mengamalkannya. Sang
Sultan mendapatkan ijazah tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin
‘Ali> al-T}abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>, salah seorang guru
dari ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.
B.
Biografi
‘Abd Alla>h bin ‘And al-Qahha>r al-Bantani>
Selain tidak
adanya data yang cukup memadai mengenai ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>,
kesan pertama yang timbul adalah adanya historiographical gap dalam
penulisan sejarah kesultanan Banten khususnya kajian yang berkaitan dengan
sejarah perkembangan Islam di Banten. Para ahli sejarah yang pernah menulis
tentang Banten jarang sekali membahasnya, padahal peran yang dilakukan oleh ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> cukup signifikan di
kesultanan, khusunya pada masa pemerintahan Sultan ‘A<rif Zayn
al-‘A<shiqi>n.
Nama ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> diabadikan dalam tulisan
Martin van Bruinessen meski tidak tuntas (hanya disebutkan dalam dua
paragraph). Martin menyebutnya sebagai Guru Besar (tarekat) di kesultanan
Banten selain Sheikh Yu>suf al-Maqassari>, artinya, Martin menganggapnya
sebagai ulama yang memiliki pengaruh besar di kesultanan Banten.
Nama lengkap
Sang Guru Besar itu, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, adalah ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.
Informasi mengenai ulama ini terbilang sangat minim sekalipun namanya cukup
popular karena tercatat dalam beberapa karya biografi bermutu semisal Geischichte
der Arabischen Literatur (GAL) karya Carl Brockelmann. Namun data-data yang
disajikan dalam GAL ini hanya memuat perkiraan tahun wafat dan dua karya
monumentalnya yang paling dikenal dunia yakni Risa>lah Shuru>t}
al-Hajj yang ia tulis selama ia berada di Makkah pada tahun 1748 dan Kita>b
al-Masa>’il.
Karena itu, pengungkapan lebih jauh mengenai jati diri tokoh ini masih menjadi
pekerjaan lebih lanjut, dan penulis seringkali harus mencari-carinya dalam
beberapa biografi penulis naskah maupun menelusuri naskah-naskah yang ia tulis.
Dalam buku
catalog L.W.C. van den Berg ternyata dijumpai tiga nama yang mirip, yakni ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd
al-Qahha>r al-Ja>wi>, dan ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r.
Pertanyaannya sekarang, apakah ketiga nama tersebut merupakan orang yang satu
tetapi beda penyebutan? Dalam hal ini penulis sependapat dengan R. Friederich
dan L.W.C. van den Berg yang berkesimpulan bahwa ketiga nama dengan sebutan
yang berbeda itu adalah orang yang sama, yakni ‘Abd Alla>h bin ‘Abd
al-Qahha>r al-Bantani>>.
Dalam buku catalog tersebut, nama-nama itu tercantum di halaman 42, 98, 101,
116, 117, 125, 128, dan 133. Ketiga nama tersebut juga dapat dijumpai dalam
naskah-naskah sebagai berikut:
1.
Kumpulan naskah A. 31 :
halaman 236
2.
Kumpulan naskah A. 111 :
halaman 2, dan 3
3.
Kumpulan naskah A. 114 :
halaman 3
4.
Kumpulan naskah A. 131 :
halaman 29, 54, 68, 192, 221, dan 234
5.
Kumpulan naskah A. 145 :
halaman 169
6.
Kumpulan naskah A. 146 :
halaman 157 dan 230
7.
Kumpulan naskah A. 155 :
halaman 1, dan 35
8.
Kumpulan naskah A. 159 :
halaman 317
9.
Kumpulan naskah A. 656 :
halaman 6, 27, 143, dan 149
Dalam salah
satu tulisan di berita harian local, Radar Banten tanggal 27 Juni 2006,
Sukar menyatakan bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>
adalah cucu dari Sultan Ageng Tirtayasa.
Jika dimaksudkan bahwa ia adalah cucu Sultan Ageng Tirtayasa melalui jalur
Sultan Haji (putera Sultan Ageng Tirtayasa yang bergelar Sultan Abu>
al-Nas}r ‘Abd al-Qahha>r) adalah sebuah pendapat yang keliru. Pasalnya,
tidak ada satu keterangan pun yang menyatakan bahwa Sultan Haji memiliki putera
bernama ‘Abd Alla>h dalam silsilah keturunannya.
Dalam
silsilah Sejarah Cianjur, ditemukan nama ‘Abd Alla>h dengan tambahan
nama Rifa>’i> di belakangnya. ‘Abd Alla>h Rifa>’i ini adalah putera
Sheikh ‘Abd al-Qahha>r, seorang ulama Banten yang menikah dengan Ratu
‘A<isha cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayahanda Ratu ‘A<isha itu sendiri
adalah Awliya Sheikh H. Ilya>s Maula>na> Mans}u>r yang dimakamkan
di Cikadueun, Pandeglang, Banten. Selanjutnya dinyatakan bahwa Sheikh ‘Abd
Alla>h Rifa>’i> ini menikah dengan Ny. R. Modjanagara, puteri Raden
Adipati Wira Tanu Datar IV (Raden Sabirudin), seorang Adipati Cianjur. Adipati
ini dikenal dengan seorang penguasa yang alim, luas pengetahuan agamanya dan
sangat sholeh.
Dari
perkawinan ‘Abd Alla>h Rifa>’i dengan Ny. R. Modjanagara ini lahirlah
beberapa putera dan puteri, yakni 1) Raden Aria Mangkupradja yang kemudian
menjadi Patih Cianjur dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur; 2)
Raden Muhamad Husen yang kemudian menjadi Panghulu Gede Cianjur; 3) Nyi
Bodedar yang menjadi orang terkaya di zamannya dan telah mewakafkan
berhektar-hektar tanah untuk keperluan kepenghuluan, salah satu wakafnya
yang hingga kini masih ada dikelola oleh Badan Wakaf Masjid Agung Cianjur.
Jika kita
membaca keterangan yang ada dalam manuskrip Masha>hid, ‘Abd Alla>h
bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> sendiri menyatakan diri pernah
tinggal di Cianjur, maka pernyataan dalam Sejarah Cianjur adalah masuk
akal dan dapat diterima. Dan berdasarkan pernyataan dari Sejarah Cianjur
di atas, maka keraguan Martin van Bruinessen mengenai apakah ayah atau ibunya
yang memiliki darah Banten dapat segera terjawab. ‘Abd Alla>h bin ‘Abd
al-Qahha>r al-Bantani> merupakan keturunan Arab-Banten, ayahnya adalah
ulama dari Arab, yakni ‘Abd al-Qahha>r, dan ibunya adalah orang Banten cucu
Sultan Ageng Tirtayasa, Ratu ‘A<isha.
‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> merupakan anak didik Sultan
Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Zayn al-‘A<shiqi>n (berkuasa
1753-1773) dan disbut-sebut sebagai ulama yang produktif menyalin dan menulis
karya-karya berbahasa Arab maupun Jawa yang menjadi koleksi perpustakaan
Kesultanan Banten sebelum dirampas oleh Belanda pada tahun 1830 pasca likuidasi
kesultanan.
Sepeninggalnya, terdapat tiga nama yang menjadi khalifah dari tarekat yang
dikembangkannya, seperti qa>d}i> Muh}ammad T{a>hir dari Bogor,
Haji Muh}ammad ‘Ali> dari Cianjur, dan Haji Muh}ammad Ibra>hi>m
Ha>ru>n al-Ja>lis dari Cianjur.
Perihal kedekatannya dengan Sang Sultan adalah sebuah fakta, karena beberapa
karyanya seringkali merupakan permintaan Sang Sultan, sehingga membawa saya
untuk berasumsi bahwa ulama ini meski tidak tinggal di keraton ia tetap
mendapat dukungan dan perlindungan dari Sang Sultan.
Dalam
catatan manuskrip yang ia tulis, ia mengaku bermazhab Shafi’i dalam soal fikih,
pengikut tarekat Shattariyah dan Qa>diriyyah, mengikuti mazhab al-Maturidi
dalam soal akidah, dan mendapatkan kematangan intelektualnya dari Makkah
Musharrafah.
Selebihnya, tidak terdapat sumber yang memberikan informasi mengenai
kehidupannya secara utuh. Namun yang jelas, ia dikenal dekat dengan Sultan
Abu> al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Zayn al-‘A<shiqi>n yang kemudian
banyak memintanya untuk menyalin atau menulis buku-buku keagamaan untuk
dipergunakan di Banten.
Seperti
disebutkan Martin van Bruinessen, tokoh ini adalah anak didik Sultan Abu>
al-Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n. Namun tidak
ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan dirinya menimba ilmu kepada penguasa
Banten itu. Kemungkinan besar adalah saat dia masih kecil dan belum berangkat ke
Tanah Suci. Setelah itu dia berangkat ke Tanah Suci dan menimba ilmu dengan
beberapa ulama kenamaan. Nama-nama gurunya selama studi di Madinah, Makkah dan
Yamman ia catat dalam manuskrip karyanya yang berjudul Fath} al-Mulu>k
Liyas}ila ila> Ma>lik al-Mulk ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k.
Dikatakan
bahwa pada 1746, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
berada di Makkah, bahkan sempat mengarang dan menyalin beberapa kitab. Namun
tidak ada keterangan yang jelas berapa lama beliau berada di Makkah. Keterangan
tahun tersebut saya jumpai dalam buku catalog L.W.C. van den Berg sebagai
berikut:
…LII quaestiones (مسائل) de variis rebus theologicis, ut: de vita
futura, de paradiso, de daemonibus, de statura corporis Adami, ect. Auctor
landator Muh}ammad, filius doctissimi Scaich Abd al-Baqi Malachitae, mortui
A.H. 1099.
Librarius fuit Abd Allah ibn Abd al-Qahhar al-Djawi qui
scripsit A.H. 1159 in urbe Mekkat. Doxologia deest.
Artinya:
Lima puluh dua pertanyaan (مسائل) tentang bermacam-macam persoalan teologi,
kehidupan akhirat, surga, setan, tentang sosok tubuh Adam, dan lain-lain.
Pengarangnya Muh}ammad putera Sheikh Abd al-Baqi bermazhab Maliki yang sangat
terpelajar dan wafat tahun 1099 H. Penyalinnya adalah Abd Allah bin Abd
al-Qahhar al-Djawi. Ia menulis tahun 1159 H (1746 M) di kota Makkah. Tidak ada
kata pujian kepada Tuhan.
Berdasar
kutipan di atas, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
pernah tinggal di Makkah pada tahun 1159 H/1746 M dan sempat menyalin kitab
berjudul Masa>’il karya Muh}ammad bin Sheikh al-Ba>qi>
al-Ma>liki>. Sementara itu, dalam kumpulan naskah A. 131 halaman 68 juga
dijumpai keterangan bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
ini pada tahun 1161 H/1748 sempat mengarang naskah berjudul Risa>lah
Shuru>t al-Hajj di Makkah. Dalam naskah tersebut beliau mengatakan dalam
bahasa Arab sebagai berikut:
لما كنت جاورت في مكة
المشرفة زده (زاده) الله شرفا قد طلب مني من بعض محبتي من الأحباب أن يجمع ويلحص (أن
أجمع و ألحص) باختصار جدا في بيان شروط الحج واركانه وواجبته ومسنوناته ومحرماته ومكرهاته
(مكروهاته)
Artinya:
Ketika saya tinggal di Makkah al-Musharrafah—semoga
Allah menambah kemuliaan atasnya—beberapa sahabat meminta saya untuk menyusun
dan meringkas seringkas mungkin tentang syarat-syarat haji, rukun-rukun,
kewajiban-kewajiban, sunah-sunah, yang mengharamkan dan yang memakruhkannya.
Ketika di
Makkah, ia berguru kepada al-Ima>m Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari>,
putera ‘Ali> al-T{abari> yang juga guru para ulama Nusantara pada abad
sebelumnya semisal ‘Abd al-Ra’u>f Singkel. Guru penting keduanya ini pernah
berguru kepada ‘Abd Alla>h bin Sa>lim al-Bas}ri> al-Makki> yang
juga guru beberapa ulama kenamaan asal Nusantara di abad ke-17. Darinya ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> menerima ajaran tarekat Shat}t}a>riyah
yang kemudian ia sebarkan di daerah Banten dan sekitarnya. Dia juga memperoleh
ijazah secara langsung pengajaran kitab hadis karangan Muh}ammad ‘Ali>
al-T{abari> berjudul Fayd} al-Ahad fi ‘Ilm bi ‘Uluwwi al-Isna>d.
Beberapa
nama gurunya yang lain semasa di Makkah adalah Ima>m ‘Abd al-Wahha>b
al-Sha>fi’i>, Sa’i>d al-Shibli>, ‘Ali> al-Yamani>, Ah}mad
al-Astabawi>, ‘At}a>’ al-Mis}ri>, Ah}mad al-Mah}alli>, Sa’i>d
al-Magribi>, Sa>lim al-Garnuqi> al-Had}rami>, Sayyid ‘Umar
al-D{ari>r, Sayyid Muh}ammad al-Mafa>zi>,dan ‘Abd al-Wahha>b al-T{ant}awi>
al-Azhari>, kepada nama yang disebut terakhir ‘Abd Alla>h belajar ilmu
fikih, tafsir al-Bayd}a>wi> dan hadis di Masjid al-Haram. Sementara satu
nama gurunya yang paling memebrikan pengaruh besar terhadap pemikiran ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah Sayyid
Ibra>hi>m al-Madani> dan al-Ima>m Muh}ammad bin ‘Ali>
al-T{abari>. Hal ini terlihat dari tingginya pujian yang ia berikan kepada
kedua ulama besar itu yang ia sebut sebagai al-‘A<lim al-‘Alla>mah
(penghulu para ulama).
Sedangkan
selama di Madinah ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
antara lain berguru kepada Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin Muh}ammad
T{a>hir al-Madani> yang memberinya ijazah pengajaran kitab al-S{imt
al-Maji>d karya Ah}mad al-Qushashi>. Hal ini terbilang wajar karena
Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> merupakan putera dari Muh}ammad T{a>hir
al-Madani> yang disebut-sebut sebagai anak sekaligus pengganti dari
Ibra>hi>m al-Kura>ni>. Dengan demikian, guru ‘Abd Alla>h bin
‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah cucu ulama kenamaan abad ke-17
yang sangat berpengaruh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara pada abad
sebelumnya. ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> juga
menerima tarekat Naqshabandiyyah dari Ibra>hi>m al-Madani>.
Ketika Sheikh
Yu>suf al-Maqassari> memperkenalkan tarekat Naqshabandiyya di Banten,
bukanlah merupakan tarekat dalam arti organisasi yang dibawanya melainkan hanya
teknik-tekniknya, terutama zikirnya dan metodenya dalam mengatur nafas.
Pasalnya, jika benar ia telah mengajarkannya pastilah akan ditemui beberapa
orang khalifanya di daerah Banten. Kasus ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r
mungkin berbeda. Sheikh ‘Abd Alla>h ini telah mengangkat beberapa khalifa di
daerah-daerah sekitar Banten, yang tampaknya semacam permulaan bagi organisasi
yang sebenarnya, suatu jaringan yang pelan-pelan mengembang. Namun, tidak ada
petunjuk sama sekali bahwa sesuatu yang menyerupai gerakan massa telah timbul
(bandingkan dengan pemberontakan petani Banten pada abad ke-19).
‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> adalah ulama Banten yang
produktif dalam menelurkan karya tulis, baik karya yang ia tulis maupun salin.
Martin van Bruinessen menyebutnya sebagai ulama Banten yang produktif dan
memiliki minat yang besar terhadap tasawuf dan metafisik. Beberapa karya ulama
besar disalin oleh ‘Abd Alla>h seperti karya langka ‘Abd al-Ra’u>f
Singkel dan menyalin kitab Shara>b al-‘A<shiqi>n karya Hamzah
Fans}u>ri> dalam Bahasa Jawa Banten. Selain itu, ia juga menulis beberapa
risalah berbahasa Arab. Karya-karyanya banyak disimpan di perpustakaan
kesultanan Banten. Setelah kesultanan Banten dilikuidasi pada tahun 1820,
karya-karya tersebut diambil alih oleh Belanda.
Salah satu
guru ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> yang sempat
mencatat tentang dirinya dalam salah satu karyanya adalah al-Sheikh Yu>suf
ibn Ah}mad al-Gazi>. Dalam sebuah catatan yang terdapat pada bagian akhir
naskah A. 656, halaman 149-159 yang berjudul Kita>b fi> Risa>lah
al-Asa>nid wa al-Ija>rah, Sheikh ini mengatakan dalam bahasa Arab
sebagai berikut:
أما بعد فيقول الفقير
إلي رحمة مولاه وعفوه يوسف ابن أحمد الغزي بلدا الشافعي مذهبا أن الشيخ الفاضل الكامل
الشيخ عبد الله ابن الشيخ عبد القهار قرأ علي في بلد الله الحرام ختمة كاملة من اول
القران إلي آخره قراءة وقراء علي السبع القرائات
Artinya:
Sesudah itu, orang yang mengharap rahmat dan ampunan
Tuhannya, Yu>suf bin Ah}mad al-Gazi> (negerinya) al-Sha>fi’i>
(mazhabnya) mengatakan bahwa Sheikh ‘Abd Alla>h bin Sheikh ‘Abd
al-Qahha>r belajar (membaca) al-Qur’an kepada saya dari awal hingga akhir
dan tamat dengan sempurna, serta belajar membaca al-Qur’an dengan qira’at
sab’ah (tujuh dialek al-Qur’an); semuanya dilakukan di negeri Alla>h
al-Hara>m.
Dalam
catatan Brockelmann, karya ‘Abd Alla>h yang paling popular di dunia luar
adalah Risa>lah fi> Shuru>t} al-Hajj yang ia tulis sewaktu di Makkah pada tahun
1748 dan Kita>b al-Masa>’il yang ditulisnya pada tahun 1746.
Secara keseluruhan, karya yang pernah beliau tulis, baik yang ia karang sendiri
ataupun yang ia salin, sebanyak 17 naskah. Tiga karya dari jumlah itu adalah
karangan beliau sendiri:
1.
Shuru>t} al-Hajj. Ditulis tahun 1161 H (1748 M) terdapat dalam kumpulan naskah
A. 131. Penulisannya dilakukan di Makkah.
2.
Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik. Naskah inilah
yang penulis jadikan rujukan utama dalam tesis ini, karya ini penulis temukan
di tangan masyarakat di daerah Pontang, Kabupaten Serang, Banten dan sekarang
oleh pemiliknya dihibahkan kepada Laboratorium Bantenologi IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten. Terapat juga di Perpustakaan Nasional dalam kumpulan naskah
A. 131. Kemungkinan penulisannya di Banten pada tahun 1763-an atau sesudahnya.
3.
Fath} al-Mulu>k Liyas}ila ila> Ma>lik al-Mulk
‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k. Selesai ditulis pada tahun 1183 H (1769 M) ditulis di
Banten. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 111.
Selain tiga
buah karya di atas, ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
juga banyak menyalin kitab dari beberapa orang tokoh yang cukup terkenal.
Keempat belas naskah dari yang tujuh belas tersebut adalah:
1.
Futu>h al-Asra>r wa Fad}a>’il al-Tahli>l wa
al-Taz\ki>r.
Pengarang kitab ini adalah ‘Abd al-Wahha>b ibn ‘Abd al-Ga>ni> ibn ‘Abd
Alla>h. Disalin pada tahun 1154 H (1741 M), tanpa tempat, terdapat dalam
kumpulan naskah A. 131.
2.
Al-Fath}iyyah. Tak diketahui siapa pengarangnya, disalin pada tahun 1158 H
(1745 M). sebuah kitab tentang pemakaian bilangan seperempat dalam menghitung
siang dan malam. Naskah ini terdapat dalam kumpulan naskah A. 155.
3.
Masa>’il. Kitab ini dikarang oleh Muh}ammad ibn Sheikh ‘Abd
al-Ba>qi> (w. 1099 H). disalin pada tahun 1159 H (1746 M) di Makkah dan
terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
4.
Minha>j al-Sa>lik. Kitab ini merupakan kitab ringkasan Risa>lah
al-Qushayriyyah yang dikarang oleh al-Sheikh ‘Ali> ibn Khali>l
al-Murs}afi>. Disalin di Banten pada tahun 1178 H (1764 M), terdapat dalam
kumpulan naskah A. 169.
5.
Kita>b al-Busta>n. Kitab ini dikarang oleh Abu> Layth al-Samarqandi>.
Tanpa tahun dan tempat penulisan terdapat dalam kumpulan naskah A. 131.
6.
Us}u>l al-Hadith. Pengarangnya adalah Abu> al-Farra>j ibn Farra>j
al-Isba>hi>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan
naskah A. 131.
7.
Matn al-Tah}iyyah fi> Us}u>l al-Hadi>th. Kitab ini dikarang oleh al-Sheikh ibn
H{ajar al-‘Asqala>ni>. Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam
kumpulan naskah A. 131.
8.
Kita>b al-Niqa>yah fi> Arba’a Ashar ‘Ilm. Pengarang kitab ini adalah Jala>l
al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i>
al-Sha>fi’i> (w. 911 H). tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam
kumpulan naskah A. 131.
9.
‘Ilm al-Fara>’id}. Dikarang oleh Sheikh Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad
ibn ‘Ima>d al-Mis}ri> al-Qudsi> (w. 887 H), tanpa tahun dan tempat
penulisan. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 146.
10. Al-Ka>fi>
fi> ‘Ilm al-Aru>d}. Pengarang
kitab ini adalah Abu> Zakariyya Yah}ya> ibn ‘Ali> al-Khat}i>b
al-Tibrizi> (w. 502 H). Kitab ini mengenai kesenian, ilmu ukur, irama dan
lagu. Tanpa tahun dan tempat penulisan. Terdapat dalam kumpulan naskah A. 146.
11. Kita>b
al-Marsu>ma. Pengarang
kitab ini adalah Abu> al-Qa>sim al-Qushayri>. Tanpa tahun dan tempat
penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 114.
12. Was}i>lat
al-T{ulla>b. Dikarang
oleh Sheikh Abu> ‘Abd Alla>h Yah}ya> ibn Muh}ammad al-Khat}t}a>b.
Tanpa tahun dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
13. Kita>b
al-H{a>jibah. Pengarang
kitab ini adalah al-Sheikh Jama>l al-Di>n ibn al-H{a>jib. Tanpa tahun
dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 159.
14. Kita>b
fi> Risa>lah al-Asa>ni>d wa al-Ija>rah. Pengarang kitab ini adalah al-Sheikh
‘Abd al-Wahha>b al-Ah}madi> al-T{ant}awi> al-Mis}ri>. Tanpa tahun
dan tempat penulisan, terdapat dalam kumpulan naskah A. 656.
Setelah
mengamati beberapa naskah, baik yang dikarang sendiri oleh ‘Abd Alla>h bin
‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> maupun yang beliau salin, ada beberapa
ciri khas kepenulisan yang dilmiliki sang pengarang. Tiga buah karangan beliau
mempunyai cirri khas tersendiri dalam gaya bahasa penulisannya, yakni
menggunakan kalimat tawa>d}u’. Kalimat yang saya maksud adalah:
1.
Dalam naskah Fath} al-Mulu>k
v الفقير الحقير النادم إلي مولاه الرحيم
الكريم المعترف بالذنب و التقصير الراجي إلي عفو رب الغفار عبد الله بن عبد القهار
v قليل الزاد إلي المعاد
v ولو كنت لست أهلا لذلك
v أضعف عباد الله الراجي إلي رحمته وعفوه
ومغفرته
2.
Dalam naskah Masha>hid al-Na>sik
v الفقير الحقير النادم إلي مولاه الرحيم
الكريم المعترف بالذنب و التقصير الراجي إلي عفو ربه الواحد
v وان كان هو ليس أهلا لذلك قليل الزاد إلي
المعاد
3.
Dalam naskah Shuru>t} al-Hajj
v الفقير الراجي إلي رحمته مولاه عبد الله
بن عبد القهار
v ولو كنت لست أهلا لذلك قليل الزاد إلي المعاد
Selain
kalimat-kalimat tawa>d}u’, saya jumpai juga kalimat-kalimat lain yang
menyatakan sebab mengapa naskah-naskah itu ditulis. Karenanya, berdasarkan
penelitian sementara saya berasumsi bahwa ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r
al-Bantani>> dalam penulisan naskahnya selalu mempergunakan kalimat tawa>d}u’
sebagai salah satu cirri penulisannya. Selain itu, selalu pula diiringi
oleh kalimat anjuran baik dari Sultan maupun dari beberapa sahabatnya. Hal
demikian sekaligus menjadi kalimat pembeda antara naskah yang ia karang sendiri
dengan naskah yang ia salin dari beberapa tokoh yang cukup terkenal.
Dalam
beberapa manuskrip yang ditemukan, setidaknya nama ‘Abd Alla>h bin ‘Abd
al-Qahha>r dikaitkan dengan empat tarekat secara bersamaan, yakni:
1.
Tarekat Qa>diriyyah. Keterkaitan ‘Abd Alla>h
pada tarekat ini didasarkan pada manuskrip Fath} al-Muluk li Yas}ila ila>
Ma>lik al-Mulu>k ‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k, sebuah naskah
karangannya sendiri. Dalam manuskrip itu, ia menuliskan namanya sebagai
berikut:
...عبد الله بن عبد القهّار الشافعي مذهبا الشطاري والقادري طريقة اللأشعري
والماتردي عقيدة...
Hal
ini juga didukung oleh keterangan P. Voorhoeve yang menyatakan bahwa ia telah
menerima ijaza yang sama dengan Sang Sultan, Abu> al-Nas}r Shifa>’ Zayn
al-‘A<shiqi>n dalam tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin
‘Ali> al-T{abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>. Sedangkan nama yang
disebut belakangan ini adalah putera ‘Ali> al-T{abari yang merupakan guru
dari banyak ulama Nusantara termasuk ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinki>li>. Karena
‘Abd al-Ra’u>f juga pernah mendapat ijazah tarekat Qa>diriyyah maka
silsilah ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r dapat direkonstruksi sebagaimana
dalam lampiran.
2.
Tarekat Shat}t}a>riyyah. Keterkaitan ‘Abd
Alla>h pada tarekat ini didasarkan pada pernyataannya sendiri dalam
manuskrip Fath} al-Mulu>k li Yas}ila ila> Ma>lik al-Mulu>k
‘ala> Qa>’idah Ahl al-Sulu>k sebagaimana di atas, serta pada
manuskrip Masha>hid al-Na>sik fi> Maqa>ma>t al-Sa>lik yang
juga naskah karangannya dengan pernyataan yang sama. Dalam naskah Fath}
al-Mulu>k disebutkan bahwa ‘Abd Alla>h menerima ijazah dan khali>fah
tarekat ini dari Muh}ammad bin ‘Ali> al-T{abari al-H{usayni>
al-Sha>fi’i>. Untuk merekonstruksi silsislahnya pada tarekat ini penulis
merasa terbantu dengan pernyataan Martin van Bruinessen bahwa ‘Abd Alla>h
menerima ijazah dalam tarekat ini melalui salah satu dari tiga garis penerus
al-Qusha>shi>, hal ini berarti dari muridnya al-Qusha>shi> selain
Ibra>him al-Kura>ni>, yakni ‘Ali> al-T{abari> ayahnya Muh}ammad
bin ‘Ali al-T{abari>. Rekonstruksi silsilah dapat dilihat pada lampiran.
3.
Tarekat Naqs}abandiyyah. Pada tarekat ini ‘Abd
Alla>h menerima ijazah dari Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin
Muh}ammad T{a>hir al-Madani>Di sini ada hal yang menarik—setidaknya buat
saya—mengenai diangkatnya ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
sebagai khalifa tarekat Naqshabandiyya. Di Nusantara, terutama dengan mashurnya
‘Abd al-Ra’u>f Sinkel sebagai khalifa tarekat Shattariyya, Qusha>shi>
dan Kura>ni> dikenal sebagai tokoh tarekat Shattariyya. Tetapi menurut
Martin van Bruinessen—ia mengutip kamus biografi ulama Kurdi dan kamus biografi
Silk al-Durar karya Muh}ammad Khali>l—di Timur Tengah,
Qusha>shi> dan Kura>ni> dikenal sebagai tokoh tarekat
Naqshabandiyya.
Kepada murid dari nusantara mereka mengajarkan tarekat Shattariyya, tetapi cucu
Kurani, Sayyid Ibra>hi>m al-Madani> bin Muh}ammad T{a>hir
al-Madani> mengangkat ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>
sebagai khalifa Naqshabandiyya, dan dengan begitu mendorong penyebaran tarekat
ini, dalam paduan dengan tarekat Shattariyya sebagaimana ‘Abd Alla>h al-Bantani>
deklarasikan sendiri dalam karyanya. Adapun rekonstruksi silsilahnya dapat
dilihat pada lampiran.
Tarekat Rifa>’iyyah.
Keterkaitan ‘Abd Alla>h pada tarekat ini terutama berdasarkan manuskrip Sadjarah
Tjikoendoel dan buku Sajarah Cianjur Sareng Raden Aria
Wira Tanu Dalem Cikundur, Cianjur yang menyebutkan nama
“al-Rifa>’i>” di belakang nama ‘Abd Alla>h. Hal ini diperkuat dengan
adanya beberapa risalah mengenai ajaran tarekat Rifa>’iyyah dalam Manuskrip
Pontang. Bahkan dalam mengawali pembahasan dalam naskah Masha>hid, ‘Abd
Alla>h menyebutkan bahwa apa yang akan dibahas dalam naskah Masha>hid salah
satunya berdasarkan ajaran Sayyid Yu>suf bin Sayyid ‘Abd al-Rah}i>m
al-H{usayni> al-Rifa>’i> (dan ini berarti Sayyid Yu>suf adalah cucu
dari pendiri tarekat Rifa>’iyyah, Sayyid Ah}mad al-Rifa>’i>). Namun
tidak ada keterangan lebih lanjut, baik dalam manuskrip Sadjarah Tjikoendoel
maupun Manuskrip Pontang, dari siapa ‘Abd Alla>h menerima ijazah tarekat
ini sehingga penulis merasa kesulitan untuk merekonstruksi silsilahnya dalam
tarekat ini.
C.
Konsep
‘Awalim al-Khomsah
Agama
sepanjang sejarahnya tidak pernah terlepas dari pembahasan akan ketuhanan.
Tuhan dalam pembahasannya ini terwujud dalam ajaran tauhid, yakni bahwa Tuhan
adalah Esa, Tuhan yang Mahamutlak. Tauhid merupakan puncak kesadaran, di mana
manusia sebagai makhluk akan mempunyai totalitas prinsip akan Tuhan yang Esa.
Dalam hal lain, tauhid menjadi sebuah "kesadaran eksistensial" bahwa
tidak ada segala sesuatu apapun kecuali Tuhan (la ilaha illa Allah).
Implikasi tersebut memunculkan kesadaran baru akan realitas yang ada, yakni
hanyalah merupakan pancaran (tajalliya>t) akan Wujud Mutlak.
Pandangan ini diperkenalkan oleh ajaran mistisisme. Karena itu, perlu dipahami
terlebih dahulu mengenai konsep tajalli> agar pembahasan mengenai ‘awa>lim
menjadi terpahami, karena bagi Ibn ‘Arabi>> alam adalah
penampakan diri (tajalli>) al-H{aqq. Dan permasalahan tajalli>
ini telah saya bahas dalam bab terdahulu.
Istilah tajalli>
yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi> sinonim dengan kata fayd} (emanasi,
pemancaran, pelimpahan), z}uhu>r (pemunculan, penampakan, pelahiran),
tanazzul (penurunan, turunnya), dan fath} (pembukaan). Tujuan
Tuhan menciptakan ala mini adalah agar Ia dapat melihat diri-Nya dan memperlihatkan
diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam
adalah cermin bagi Tuhan. melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan
wajah-Nya. Di samping itu, Tuhan juga merupakan “harta simpanan tersembunyi”
yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Ide ini didasarkan pada hadis
Nabi tentang “harta simpanan tersembunyi” yang telah disinggung di bab
sebelumnya. Hadis ini mengandung pengertian bahwa Tuhan rindu untuk diketahui
dan karena itu Dia menciptakan alam. Hadis inilah yang kemudian dijadikan
sandaran bagi Ibn ‘Arabi> dan sufi lainnya untuk mendukung konsep tajalli>.
Karena
itu, pembahasan mengenai alam bertujuan untuk dapat mengenal Tuhan yang memang
ingin dikenal. Dengan mengenal Tuhan, seorang sa>lik dapat mempererat
intimasinya dengan Tuhan, dan pengenalan Tuhan ini dilakukan dengan memahami
konsep alam sebagai salah satu tanda eksistensi dan emanasi-Nya. Ibn ‘Arabi>>,
seperti dikatakan di atas, mengumpamakan alam sebagai cermin bagi Tuhan untuk
melihat diri-Nya. Cinta untuk melihat diri-Nya adalah sebab penciptaan alam.
Dapat pula dikatakan bahwa alam adalah alamat atau tanda untuk mengetahui
Tuhan. (Alam dalam bahasa Arab adalah al-‘a>lam dan alamat atau tanda
adalah ‘ala>mah. Al-‘a>lam dan ‘ala>mah keduanya sama
berasal dari akar yang sama, yakni ‘lm, yang daripadanya pula berasal
kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan. Kata lain yang searti dengan ‘ala>mah
adalah a>yah, yang juga berarti tanda). Alam, yaitu cermin dan
tanda bagi eksistensi Tuhan, tidak aka nada tanpa tajalli>-Nya.
‘Awa>lim merupakan bentuk jamak dari kata ‘a>lam. Selain
kata á>lam, dalam menerangkan tajalli> Tuhan juga dikenal
dengan istilah martabat atau mara>tib, yakni
tingkatan-tingkatan manifestasi Tuhan, serta had}rah atau h}ad}ara>t,
yakni penampakan diri Tuhan. ‘Abd Alla>h al-Bantani> secara garis
besar menyebutkan ada empat macam tingkatan dalam ‘awa>lim ini, yakni
‘A<lam Ila>hi>, ‘A<lam Jabaru>t, ‘A<lam Malaku>t, dan
‘A<lam Na>su>t. Keempat ‘a>lam ini di dalamnya memiliki
macam dan tingkatannya masing-masing sejak alam di mana Tuhan tak berdefinisi
hingga alam insa>n ka>mil. Pembagian dan macam-macam ‘a>lam
tersebut menurut ‘Abd Alla>h akan dijelaskan berikut.
a. ‘A<lam
Ila>hi>
Menurut ‘Abd Alla>h, pada taraf ini Tuhan (atau dalam istilah
Ibn ‘Arabi>> disebut al-H{aqq) belum memanifestasikan diri-Nya,
Dia masih terbebas dari pembatasan dan pensifatan. Dia masih berupa Dha>t
yang mutlak dan tak diketahui (‘adam inh}is}a>r), wuju>d yang
Mahamutlak dengan kemutlakannya. Dengan bahasa sederhana dikatakan dalam taraf
ini Dia tak lebih merupakan Dha>t per se dalam kegelapan metafisik
(tak dikenal). Meski pada taraf ini belum ada suatu emanasi—Dia sebagai dha>t
mut}laq yang tak diketahui—tetapi ‘Abd Alla>h membagi lagi di dalamnya yang
terdiri dari lima tingkatan, yakni:
1.
Alam yang digambarkan dengan alam yang suci dan murni (al-Bah}t
wa al-S{irf)
2.
Alam Dha>t dan Kesucian Mutlak (‘A<lam Dha>t
al-Mut}laq wa Baya>d} al-Mut}laq)
3.
Puncak segala hakikat (H{aqi>qat al-H{aqa>’iq)
dan Dha>t Yang Asal (Kunh al-Dha>t)
4.
Ma>hiyyat al-Ma>hiyya dan Huwiyyat al-Dha>t
5.
Alam di mana Dha>t tak bersifat (Majhu>l
al-Na’t) dan Mahagaib (Gayb al-Guyu>b). Dalam taraf ini juga
disebut alam al-Ah}adiyya, al-La>ta’ayyun serta martabat alam yang
digambarkan seakan kabut gamang hampa udara karena merupakan sebuah tingkatan
yang betul-betul tak diketahui (Martabat al-‘Ama>).
Sehubungan dengan martabat al-‘ama> ini, ‘Abd
Alla>h mencatat sebuah keterangan yang menyatakan bahwa ada pertanyaan yang
disampaikan kepada Nabi SAW: “Di mana Tuhanmu berada sebelum Ia mencipta
makhluk-Nya?” Nabi SAW menjawabnya: “Tuhan berada di alam al-‘ama>, yang
di atas maupun di bawahnya hampa udara.”
b. ‘A<lam
Jabaru>t
‘A<lam Jabaru>t ini menurut ‘Abd Alla>h adalah alam dimana Tuhan sudah
memulai manifestasi-Nya yang pertama. Alam ini disebutnya pula dengan alam
sifat-sifat (‘a>lam al-s}ifa>t) yang digambarkan sebagai
berkumpulnya alam yang besar (majma’ al-kubra>) dan sekat dari
sekat-sekat yang besar (barzakh al-bara>zikh al-kubra>). Alam ini
juga disebut sebagai alam kesatuan (al-wah}da), entitas awal (al-ta’ayyun
al-awwal), akal pertama (al-‘aql al-awwal), martabat ketuhanan (martabat
al-ila>hi>), martabat kekekalan asal (aza>l al-a>za>l
wa aba>d al-a>ba>d), yang akhir, yang lahir dan batin. Dia juga
merupakan jiwa universal (al-nafs al-kullliyya), meliputi seluruh
entitas permanen (muh}i>t al-a’ya>n al-tha>bita), hakikat
muh}ammad (al-h}aqi>qa al-muh}ammadiyya) yang kemudian digambarkan
sebagai entitas permanen (al-a’ya>n al-tha>bita), ia juga merupakan
alam nama-nama (‘a>lam al-asma>’).
c. ‘A<lam
Malaku>t
‘A<lam al-Malaku>t ini merupakan Hakikat Adam, bentuk entitas kedua (al-ta’ayyun
al-tha>ni>), pengetahuan ketuhanan (al-ma’lu>ma>t
al-ila>hiyya), sekat kecil (al-bara>zikh al-sugra>), yang
batin, ciptaan tertinggi (al-falakiyya al-‘uluwiyya), disebut juga
martabat al-wa>h}idiyya. Dalam hal ini, menurut ‘Abd Alla>h, para
imam berbeda pendapat mengenai al-a’ya>n al-tha>bita. Menurut
al-Ima>m Ma>lik r.a.: “al-A’ya>n al-Tha>bita adalah qadi>m
karena ia erat sekali hubungannya dengan Yang Mahaqadim”. Al-Ima>m
al-Sha>fi’i> r.a.berkata: “al-A’ya>n al-Tha>bita bukanlah qadi>m,
melainkan bersifat baru (muh}datha) karena ia merupakan bentuk yang
telah diketahui, dan setiap bentuk adalah baru (muh}datha) menurut hokum
dan hakikatnya.”
Sedangkan al-Ima>m Abu> H{ani>fa r.a. menyatakan: “al-A’ya>n
al-Tha>bita bukan qadi>m juga bukan baru (muh}datha),
karena ia merupakan sekat (barzakh) antara Sang Pencipta (Kha>liq)
dan ciptaan-Nya (makhlu>q) dan pembentukan oleh Dha>t itu
didsarakan pada kalimat “kun” (dalam kalimat kun fa yaku>n) yang
berfungsi sebagai “mediator/penengah”. Maka “penengah” ini tidak bisa dikatakan
sebagai qadi>m maupun baru (muh}datha), seperti halnya cermin,
ia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bercermin (realitas) maupun
bayangannya.” Menurut al-Ima>m Ah}mad bin H{anbal r.a.: “terkadang al-A’ya>n
al-Tha>bita dikatakan qadi>m dan terkadang pula baru (muh}datha),
karena ia merupakan hasil ciptaan. Hal ini dikarenakan perkataan “kun” (dalam
kalimat kun fa yaku>n) tidak lepas daripada yang Qadi>m, maka
dikatakan bahwa ia (al-a’ya>n al-tha>bita) juga qadi>m. Sedang
apabila ia (al-a’ya>n al-tha>bita) ini disandarkan pada makhluk
yang mengamini kalimat “kun” itu maka ia termasuk baru (muh}datha) berdasarkan
bentuk-bentuknya berupa ciptaan yang terikat oleh factor luar.
Mengenai hal ini ‘Abd Alla>h menyatakan pendapatnya yang
sejalan dengan al-Gaza>li> r.a. yang mengatakan bahwa al-a’ya>n
al-tha>bita ini merupakan qadi>ma, pendapat ini merupakan
bentuk kehati-hatian bagi orang yang tidak mengetahui rahasia ta’wi>l, dan
Alla>h Maha Mengetahui.
‘A<lam Malaku>t ini merupakan alam perbuatan Tuhan (‘a>lam
al-af’a>l), alam kenyataan (‘a>lam al-ta’thi>ra>t), ‘a>lam
arwa>h}, alam gayb, dan kawasan wewenang Tuhan ('a>lam al-amr).
d. ‘A<lam
Na>su>t
‘A<lam al-Na>su>t ini merupakan dunia bawah (‘a>lam
al-sufliyya), alam manusia (‘a>lam al-ana>m), alam jasmani,
alam nyata (‘a>lam al-shaha>da), alam makhluk, alam zahir, alam wadag
(‘a>lam al-ajra>m), dan alam inderawi (‘a>lam
al-mah}su>sa>t). ‘A<lam Na>su>t ini juga disebut
sebagai alam insa>n ka>mil, alam tempat penciptaan menjadi nyata,
sebuah akhir pelepasan dari penciptaan (a>khir al-tanazzula>t),
dan puncak dari segala adaan (kha>tim al-mawju>da>t).
Dalam alam ini juga dikenal adanya alam lima yang
berpasang-pasangan (al-khams al-muh}i>t). Adapun unsur-unsur alam
lima yang berpasang-pasangan ini adalah: alam ruhani dan jasmani (al-ru>h}a>niyya
wa al-jisma>niyya); dunia atas dan dunia bawah (al-‘uluwiyya wa
al-sufliyya); alam unsure dan mineral (al-‘uns}u>riyya wa
al-ma’da>niyya); alam bebatuan dan tanaman (al-jama>diyya wa
al-naba>tiyya); serta alam hewani dan insani (al-h}ayawa>niyya wa
al-insa>niyya).
Dalam kesimpulannya mengenai pembahasan ‘awa>lim ini,
‘Abd Alla>h mengatakan bahwa hakikat wujud adalah Allah itu sendiri, tidak
ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan. Wujud Tuhan bukanlah wujud
yang bersifat luar (al-kha>riji>) maupun wujud yang bersifat
mental (al-wuju>d al-z\ihni>). Wujud yang sebagaimana adanya
sebagai wujud tidaklah terikat dengan sesuatu yang lain kecuali dengan yang
mutlak. Keterikatan dalam bentuk ini tidak menunjukkan universal maupun
particular, tidak ‘a>m maupun kha>s}, Dia adalah esa dalam
keesaan Dha>t-Nya. Kebanyakan orang menetapkannya dengan martabat
maupun maqa>mat yang tak berkeserupaan.
Sebagai tambahan, eksistensi eksternal (al-wuju>d
al-kha>riji>) maupun eksistensi mental (al-wuju>d al-dhihni>)
ini sangat erat hubungannya dengan epistemology. Terjadinya suatu ilmu
pengetahuan adalah karena berkumpulnya kedua eksistensi tersebut melalui
unifikasi fenomenal yang bersifat epistemik, bukan logis ataupun ontologis. Hal
ini, karena sebuah objek eksternal selain memiliki realitas faktual dalam
tatanan wujud, juga memiliki representasi fenomenal dalam pikiran kita yang
terkait dengan tatanan konsepsi. Melalui unifikasi epistemik terjadi
korespondensi yang bermakna “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam
bentuk. Artinya, bentuk internal disatukan dengan bentuk material eksternal
karena adanya saling keserupaan kedua modus eksistensi tersebut melalui
unifikasi formal (bentuk; s}u>rah).
Karena pada esensinya bersifat intensional (adanya tujuan
yang bersifat eksternal), maka tindak mengetahui senantiasa dimotivasi,
ditentukan, dan dikonstitusi oleh objeknya. Oleh karenanya, objek memiliki
saham, bersama subjek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui, tetapi
berbeda dari subjek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak
mengetahui. Oleh karena itu, sementara ciri utama objek adalah memotivasi
tindakan subjek, sebaliknya subjek tak bisa mengambil bagian dalam prosedur
memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang
yang hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi objek bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa
efisien (sebab pelaku) bagi tindak intensional mengetahui sesuatu dan objek
berfungsi sebagai kausa final (sebab tujuan) bagi pelaksanaan tindakan itu.
Kausa efisien tidak dianggap sepenuhnya identik dengan kausa final, sehingga
suatu subjek tidak mungkin identik dengan objeknya.
Dalam konteks ini, kausa efisien didefenisikan sebagai agen
yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui. Adapun kausa final,
berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan
internalnya. Eksistensi eksternal objek, karena secara prima facie
independen dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan
intelektual subjek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan
tetapi, eksistensi mental objek yang sama, karena hadir dalam pikiran,
merupakan kausa bagi kausalitas subjek. Artinya, subjek yang mengetahui sebagai
kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental
objek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang objeklah
yang pertama kali mengefektifkan kausasi potensial subjek dengan membawanya
dari keadaan potensialitas kepada keadaan aktual. Seandainya gagasan tentang
objek tidak ada dalam pikiran subjek yang mengetahui, niscaya subjek potensial
tersebut tidak akan pernah sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh
karena itu, dalam urutan kausasi ini, gagasan tentang objek muncul lebih
dahulu, dan dipandang sebagai kausa prima (sebab utama), sedangkan realitas
objektifmya merupakan kausasi terakhir dan final dari tindak imanen
pengetahuan.
Dengan hal ini, maka jelas bahwa pengetahuan yang kita
miliki berasal dari proses pencerapan terhadap eksistensi atau objek eksternal
melalui gambaran (shurah) objek tersebut, yang kemudian dengan
kreatifitas akal diubah menjadi eksistensi mental (objek internal) yang hadir
dalam diri kita. Artinya subjek (akal) memiliki kemampuan untuk melakukan
kreasi dalam menciptakan objek internal dari bentuk visual entitas yang berasal
dari objek eksternal (wujud luar) bahkan menurut Mulla Shadra, bagi orang-orang
yang telah mencapai taraf tertinggi yang akalnya telah aktif dan suci (kudus)
secara sempurna, maka ia akan mampu mengaktualisasikan apa yang ada secara
potensial di dalam akalnya sehingga terwujud di luar secara eksistensi
eksternal (wujud luar) sekaligus dengan segala efek yang dihasilkannya.
Menurut skema besar yang disampaikan oleh ‘Abd Alla>h al-Bantani>,
Tuhan bertajalli dalam empat tahapan besar, yakni ‘A<lam Ila<hi<,
‘A<lam Jabaru>t, ‘A<lam Malaku>t, dan terakhir ‘A<lam
Na>su>t. Keempat alam ini terkesan berbeda dalam hal jumlah jika
dibandingkan dengan konsep tajalli> yang berkembang pada saat itu,
yakni Martabat Tujuh yang diformulasikan oleh Fad}l Alla>h
al-Burhanpuri> dalam karyanya Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h}
al-Nabi>.
Karya Burhanpuri ini
terlihat pengaruhnya secara nyata di nusantara terutama sejak abad ke-17 M. Di
Sumatra dan Jawa ajaran-ajaran al-Burhanpuri yang dituangkan dalam Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h}
al-Nabi> yang
membahas tentang Mara>tib al-Wuju>d (tingkatan-tingkatan wujud)
masih mampu bertahan cukup lama, terutama pembahasan tentang al-Mara>tib
al-Sab’ah (Martabat Tujuh) yang menjadi pilar ajaran Tasawuf di Nusantara. Salah
satu bukti bahwa ajaran Martabat Tujuh ini sangat popular pada zamannya adalah
banyaknya terjemahan maupun saduran kitab Tuh}fah ini dalam bahasa
local, salah satu saduran tersebut juga saya jumpai dalam Manuskrip Pontang
yang saat ini menjadi rujukan utama tesis ini.
Para ulama yang
mengembangkan ajaran martabat tujuh itu antara lain Sheikh Shams al-Di>n
al-Sumatrani dalam kitabnya yang berjudul Jauhar
al-H{aqa>’iq, Nu>r al-H{aqa>’iq, Mir’at
al-I<ma>n (Mir’at al-Mu’mini>n) dan Kita>b
al-H{araka>t, Sheikh ‘Abd al-S{amad al-Palimbani yang di tulis dalam
kitabnya Siya>r al-Sa>liki>n ila> ‘Iba>dah Rabb
al-‘A<lami>n yang memasukkan karya al-Burhanpuri (al-Tuh}fah)
ke dalam kitab Tasawuf tingkat ketiga yang tertinggi yang cocok untuk
orang-orang khusus bukan untuk orang awam dan Sheikh ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinkili>, martabat tujuh dan tentang wuju>diyyah
dijelaskan dalam kitabnya antara lain Daqa>’iq al-H{uru>f, Kifa>yat
al-Muh}ta>ji>n al-Qa>ili>n bi Wah}dat al-Wuju>d, Muh}ammad Nafis al-Banjari, dalam kitabnya yang berjudul Durr
al-Nafi>s.
Konsep Martabat Tujuh menurut al-Burhanpuri dalam
karyanya Tuhfah tersebut sebagai berikut:
1. Martabat Ah}adiyyah. Atau disebut
juga sebagai alam la> ta’ayyun, yakni alam di mana Tuhan belum
memanifestasikan diri-Nya, Dia masih merupakan Dha>t Mut}laq.
2. Martabat Wah}dah. Disebut juga
sebagai alam entifikasi pertama (ta’ayyun awwal), martabat ini
disebut juga al-H{aqi>qat al-Muh}ammadiyyah.
3. Martabat Wa>h}idiyyah. Disebut
juga sebagai alam entifikasi kedua (ta’ayyun tha>ni>) atau al-h}aqi>qa
al-insa>niyyah.
4. Martabat alam Arwa>h}. yakni pengungkapan (ibarat) dari segala sesuatu yang ada
di alam ini yang bersifat murni dan sederhana yang tampak pada zat-zat dan
semisalnya.
5. Martabat alam Mitha>l. Yakni pengungkapan
(ibarat) dari sesuatu yang halus yang tidak menerima susunan dan tidak dapat
diceraikan bagian–bagiannya, tidak dapat dimusnahkan dan dibinasakan. Amtha>l
merupakan sesuatu yang tersusun (murakkab) yang halus dan tidak dapat
dibagi-bagi. Nur itulah yang menjadi pakaian awal bagi-Nya dalam ‘a>lam
arwa>h} dan alam mitsal
6. Martabat alam Ajsa>m. Yakni pengungkapan
tentang segala sesuatu yang ada dan tersusun dengan susunan yang padat dan
kasar serta dapat dibagi dan dipisahkan.
7. Martabat alam Insa>n Ka>mil. Alam ini
disebut juga sebagai martabat al-ja>mi’ah, yakni berkumpulnya entitas
Dha>t Tuhan dengan asma>’, s}ifa>t, dan af’a>l Tuhan
dalam diri seorang manusia, hal itulah yang dinamakan sebagai Manusia Sempurna
(Insa>n Ka>mil).
Hal yang berbeda mengenai pembahasan alam ini juga
dikemukakan oleh Hamzah Fans}u>ri>. Menurut Hamzah, Tuhan bertajalli>
dalam lima martabat:
1.
Martabat La> ta’ayyun. Dinamakan demikian karena
akal budi manusia tak mampu memahami dan mengetahui-Nya.
2.
Martabat Entifikasi Pertama (Ta’ayyun Awwal), yakni ‘ilm,
wuju>d, shuhu>d, dan nu>r. Martabat ini dinamakan juga
martabat Ah}ad dan Wa>h}id. Dinamakan Ah}ad karena dha>t
Allah berada dalam keesaan-Nya, namun jika disertakan sifat-Nya maka
dinamakan Wa>h}id.
3.
Martabat Entifikasi Kedua (Ta’yyun Tha>ni>).
Alam ini disebut juga entitas permanen (al-a’ya>n al-tha>bita),
bentuk-bentuk pengetahuan (s}uwar al-‘ilmiyyah), hakikat sesuatu (h}aqi>qat
al-ashya>’), atau ruh yang tertambat (ru>h} id}a>fi>)
4.
Martabat Entifikasi Ketiga, yakni kenyataan ruh insan, ruh
hewan, dan ruh tumbuhan.
5.
Martabat Entifikasi Keempat dan Kelima, yakni segala sesuatu
yang berbentuk fisik, dunia corporeal serta segala makhluk. Tahap ini merupakan tahap penciptaan yang tiada
akhir, ila> ma> la> niha>yatan lahu, sebab bila tidak ada
penciptaan maka Tuhan bukan merupakan Pencipta.
Sedangkan menurut al-Ji>li>,
dalam karyanya, al-Insa>n al-Ka>mil fi> Ma’rifat al-Awa>khir wa
al-Awa>’il, ada lima tingkatan dalam tajalli> Tuhan, yakni martabat al-Ulu>hiyyah,
al-Ah}adiyyah, al-Wa>h}idiyyah, al-Rah}ma>niyyah, dan al-Rubu>biyyah.
Tetapi dalam karyanya yang lain, Mara>tib al-Wuju>d, al-Ji>li>
membagi tajalli> Tuhan dalam empat puluh tingkat, yakni: 1) Martabat al-Ghayb
al-Mut}laq, 2) al-Wuju>d al-Mut}laq, 3) al-Wa>h}idiyyah, 4)
al-Z{uhu>r al-S{irf, 5) al-Wuju>d al-Sa>ri>, 6) al-Rubu>biyyah,
7) al-Ma>likiyyah, 8) al-Asma>’ wa al-S{ifa>t
al-Nafsiyyah, 9) H{ad}rat al-Asma>’ al-Jala>liyyah, 10) H{ad}rat
al-Asma>’ al-Jama>lliyyah, 11) H{ad}rat al-Asma>’ al-Fi’liyyah,
12) ‘A<lam al-Imka>n, 13) al-‘Aql al-Awwal, 14) al-Ru>h}
al-A’z}am, 15) al-‘Arsh, 16) al-Kursi>, 17) ‘A<lam
al-Arwa>h} al-Fi’liyyah, 18) al-T{abi>’ah al-Mujarradah, 19) al-Hayu>la>,
20) al-Hiba>’, 21) al-Jawhar al-Fard, 22) al-Murakkaba>t
wa Aqsa>miha>, 23) al-Falak al-At}las, 24) Falak
al-Jawza>’, 25) Falak al-Afla>k, 26) Sama>’ al-Zuh}al, 27)
Sama>’ al-Mushtari>, 28) Sama>’ al-Bahra>m al-Mari>kh,
29) Sama>’ al-Shams, 30) Sama>’ al-Zahrah, 31) Sama>’
‘At}a>rud, 32) Sama>’ al-Qamar, 33) al-Falak al-Athi>r, 34)
al-Falak al-Ma’thu>r, 35) al-Falak al-Musta’thar, 36) al-Falak
al-Muta’aththar, 37) al-Ma’dan wa Anwa>’uh, 38) al-Naba>t, 39)
al-H{ayawa>n, 40) al-Insa>n.
Seorang sufi yang lebih awal dari yang
telah diuraikan di atas, Ibn ‘Arabi>—karya-karyanya seringkali mengilhami
para sufi yang hidup belakangan termasuk sufi yang disebutkan di
atas—mengungkapkan tajalli> al-H{aqq dalam lima martabat:
1.
Martabat Dha>t, yakni alam di mana Tuhan masih
merupakan dha>t yang mutlak dan belum bertajalli> (al-ghayb
al-mut}laq).
2.
Martabat sifat dan nama Tuhan, disebut juga ‘A<lam
al-Ulu>hiyyah
3.
Martabat perbuatan Tuhan (af’a>l), disebut juga ‘A<lam
al-Rubu>biyyah
4.
Martabat ‘A<lam Amtha>l atau ‘A<lam
Khaya>l
5.
Martabat ‘A<lam Musha>hadah, yakni dunia
corporeal.
Perbedaan-perbedaan deskripsi mengenai tajalli>
al-H{aqq dalam beberapa martabat ini dapat dilihat pada table berikut:
Ibn ‘Arabi>>
|
Al-Ji>li>
|
Hamzah Fans}u>ri>
|
Al-Burhanpuri
|
‘Abd Alla>h
|
Dha>t/al-Ghayb al-Mut}laq
|
al-Ghayb al-Mut}laq
|
La> Ta’ayyun
|
Ah}adiyyah
|
‘A<lam Ila>hi>
|
al-S{ifa>t wa al-Asma>’/ ’A<lam
al-Ulu>hiyyah
|
al-Wuju>d al-Mut}laq
|
Ta’ayyun Awwal
|
Wah}dah
|
‘A<lam Jabaru>t
|
al-Af’a>l/’A<lam
al-Rubu>biyyah
|
al-Wa>h}idiyyah
|
Ta’ayyun Tha>ni>
|
Wa>h}idiyyah
|
|
|
al-Z{uhu>r al-S{irf
|
‘A<lam Arwa>h}
|
‘A<lam Arwa>h}
|
‘A<lam Malaku>t
|
‘A<lam Amtha>l/ ’A<lam
Khaya>l
|
al-Wuju>d al-Sa>ri>
|
‘A<lam Ajsa>m/
al-Mawju>da>t
|
‘A<lam Mitha>l
|
|
‘A<lam Musha>hadah
|
al-Rubu>biyyah
|
|
‘A<lam Ajsa>m
|
|
|
al-Ma>likiyyah, dst
|
|
‘A<lam Insa>n Ka>mil
|
‘A<lam Na>su>t
|
Jika dilihat lebih cermat
perbedaan-perbedaan dalam mendiskripsikan konsep tajalli> al-H{aqq ini,
kita dapat melihat adanya persamaan yang mendasar pada kesemuanya.
Konsep-konsep tersebut meskipun dideskripsikan secara berbeda tetapi semuanya
hendak menyatakan bahwa Tuhan dalam kemutlakannya dan sebelum Dia
bertajalli> adalah esa, tak dapat diketahui dan bebas dari pensifatan
apapun. Konsep tajalli> ini juga menjelaskan perihal dari yang esa ke
yang banyak, apa yang kita saksikan dalam alam corporeal ini ternyata tak
se-real kelihatannya. Dunia yang kita anggap nyata selama ini—bagi para sufi
tersebut—tak lebih dari sekadar ilusi.
Meski alam fenomenal ini bukanlah
sebuah realitas yang sesungguhnya, tetapi bukan berarti ia tak bernilai atau
tak berarti. Bagi para sufi, dunia fenomenal ini merupakan symbol refleksi dan
representasi dari Dia yang benar-benar Real. Tak ada wuju>d kecuali
wuju>d-Nya.
Dalam mengakhiri penjelasan mengenai tajalli>
al-H{aqq ini, ‘Abd Alla>h mengatakan bahwa tidak ada wuju>d kecuali
wuju>d Tuhan, eksistensi Tuhan yang sebenarnya tidak bisa
dikonsepsikan oleh akal manusia, eksistenasi-Nya tidak terikat oleh eksistensi
lainnya. Dia dalam diri-Nya tidak memiliki sifat apa pun, tidak kulli> maupun
juz’i>, tidak kha>s} maupun ‘a>m, Dia Esa dalam
keesaan-Nya yang tak berbilang. Sedangkan eksistensi selain diri-Nya terikat
oleh eksistensi-Nya, dari Yang Esa lallu menjadi Yang Banyak tidak bisa
dijelaskan kecuali dengan penjelasan tajalli>-Nya dalam beberapa
martabat dan maqa>ma>t tersebut.
D. ‘Abd Allah dan Posisinya dalam Konstelasi Wuju>diyyah di
Nusantara
Sebuah
pemikiran bersifat sinambung. Tidak ada pemikiran yang timbul dari ruang hampa,
karena itu sebuah pemikiran tentulah berada pada ruang historis. Meski
dikatakan sebuah pemikiran itu baru, namun bukan berarti ia tak terikat dengan
pemikiran yang ada sebelumnya, ia merupakan sebuah ekspolari dan sebuah
penafsiran baru atau evolusi penafsiran, ia ada karena adanya pembauran dari
berbagai cakrawala pengetahuan sebelumnya. Untuk lebih memahami konsep-konsep wuju>diyyah
‘Abd Allah bin ‘Abd al-Qahhar al-Bantani> kita mesti juga melihat pada konstelasi
diskusi wuju>diyyah yang terjadi pada masanya ataupun masa sebelumnya
yang dianggap mempengaruhi. Dalam hal ini saya akan membahasnya secara singkat
pemahaman wuju>diyyah sebelum masa ‘Abd Allah sehingga kita bisa
mengetahui posisinya dalam diskursus wuju>diyyah yang terjadi di
Nusantara.
Tasawuf
yang dikembangkan oleh Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n Sumatra>ni> disebut oleh al-Ra>ni>ri> dengan paham wuju>diyyah. Paham wuju>diyyah Hamzah
Fans}u>ri> misalnya dapat
dilihat dalam karya Ruba>’iyyat-nya, dalam syairnya ia mengatakan:
Yogya kau pandang kain
dan kapas
Keduanya wahid asmanya
lain
Wahidkan hendak lahir dan
batin
Itulah ilmu kesudahannya
main.
Dengarkan sini anak ratu,
Ombak dan air asalnya
satu,
Seperti manikam muhith
dengan batu,
Inilah tamsil engkau dan
ratu.
Dalam syair perahu ia mengatakan:
Hamzah Fans}u>ri> di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul
Ka’bah
Di Barus ke Kudus terlalu
payah
Akhirnya dapat di dalam
rumah
Syair-syair
Hamzah ini berbicara mengenai konsep kesatuan wujud, seperti halnya Ibn
‘Arabi>>, padanya lebih tampak
lagi, tidak ada lagi dualismenya. Seperti kata-katanya, kain dan kapas jangan
dipandang dua, manikem dan batu juga jangan dipandang dua, semuanya satu dan
hanya beda pada nama. Jadi semuanya menurut Hamzah adalah satu realitas yakni
wujud Tuhan, hal-hal yang dapat kita lihat ini berbeda hanya pada tataran nama.
Dalam syair perahunya ia tak lagi memakai tamsil, ia menyebut langsung Tuhan.
Baginya, Tuhan tak perlu dicari jauh-jauh karena sesungguhnya ia ada dalam diri
kita sendiri. Dalam hal ini ia mirip dengan ajaran al-H{alla>j mengenai h}ulu>l.
Konsep wah}dat
al-wuju>d (kesatuan wujud) Hamzah Fans}u>ri> juga dapat terlihat
dari ilustrasinya mengenai posisi Tuhan dalam alam semesta. Dalam Asra>r
al-‘A<rifin Hamzah Fans}u>ri> menjelaskan hubungan antara Tuhan
dengan alam dengan mengatakan bahwa alam itu adalah cermin Tuhan. Meski secara
lahir ia (alam) berwujud, namun sesungguhnya wujud itu adalah wujud wahmi
bukan wujud yang sesungguhnya. Wujud yang hakiki hanyalah Tuhan.
Dalam bagian yang lain Hamzah mengumpamakan Allah SWT. dengan alam ibarat laut
dengan ombak, seperti dijelaskan:
“Laut tiada bercerai
dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga Allah SWT.
tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam
dan tiada di bawah alam dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan
tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam
dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.”
Sejalan
dengan pemikiran Hamzah adalah pemikiran Shams al-Di>n Sumatrani, dan
karenanya banyak peneliti menganggapnya sebagai guru-murid, namun hipotesis
tersebut banyak yang membantahnya sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bab
II. Dari beberapa karyanya dapat diketahui
bahwa Syams al-Di>n al-Sumatra>ni> adalah pengikut aliran wuju>diyyah.
Misalnya dalam karyanya, Jawhar
al-H{aqa>’iq, ia menguraikan masalah wah}dat
al-wuju>d yang dianutnya, yang terdiri dari sebuah mukadimah, lima pasal
dan sebuah penutup. Kitab ini dikarang dalam bahasa Arab yang cukup baik dengan
gaya bahasa sufi yang cukup menyentuh.
Tuhan dalam pengertian Shams al-Di>n adalah wujud yang
tidak ada satupun yang seperti Dia, dan tidak ada suatupun yang berdiri
menyertainya, namun Dia adalah yang menyebabkan adanya segala sesuatu tanpa
menyebabkan perubahan pada Zat dan Sifat-Nya. Dia adalah yang Pertama (al-Awwal), yang Akhir (al-A<khir), yang Tampak (al-Z{a>hir) dan Yang Tersembunyi (al-Ba>t}in) karena keberadaan-Nya
meliputi segala sesuatu. Dengan-Nya segala sifat-sifat yaitu hidup (al-H{aya>h), pengetahuan (al-‘Ilm) kehendak (al-Ira>dah), kekuasaan (al-Qudra),
pendengaran (al-Sama>’)
penglihatan (al-Bas}ar) dan
pembicaraan (al-Kala>m). Maka dia
adalah Yang Hidup (al-H{ayy), Yang
Berdiri Sendiri (al-Qayyu>m), Yang
Berkehendak (al-Muri>d), Maha
Kuasa (al-Qa>dir), Yang Mengetahui
(al-‘A<lim), Yang Mendengar (al-Sa>mi’), Yang Melihat (al-Ba>s}ir) dan Yang Berbicara (al-Mutakallim) dengan Dha>t-Nya sendiri.
Sehingga wujud yang sebenarnya adalah wujud Tuhan, sedangkan alam tidak lain
hanyalah bayang-bayang dari wujud Tuhan yang hakiki. Sedangkan dalam hal tajalli>, Shams al-Di>n mengikuti
konsep Martabat Tujuh yang dirumuskan
oleh al-Burhanpuri.
Di kemudian hari, terutama setelah Sultan Iskandar Muda
wafat, ajaran wuju>diyyah Hamzah
dan Shams al-Di>n mendapatkan serangan yang sangat hebat, terutama oleh
Nu>r al-Di>n al-Ra>ni>ri>. Pada dasarnya, sewaktu Sultan
Iskandar Muda masih hidup telah tampak benih-benih pertentangan tersebut,
tetapi dengan kebijaksanaan Sang Sultan pertentangan itu tidak sampai menimbulkan
kekacauan di tengah masyarakat. Sultan Iskandar Muda pada saat itu tidak bisa
diyakinkan oleh al-Ra>ni>ri> sewaktu kedatangannya yang pertama ke
Aceh untuk menentang paham wuju>diyyah itu.
Al-Ra>ni>ri> sangat menentang ajaran wah}dat al-wuju>d yang diajarakan
oleh Hamzah dan Shams al-Di>n, baginya apapun alasannya tidak ada
kemanunggalan antara Tuhan dengan manusia, maupun yang menganggap bahwa Allah
sama dengan alam dan alam adalah Allah jua. Al-Ra>ni>ri> menambahkan
bahwa Tuhan tetaplah Tuhan meskipun Ia turun (tanazzul), dan hamba akan tetaplah hamba meskipun ia naik (taraqqi>).
Ungkapan-ungkapan berani yang diucapkan secara terbuka ini pulalah yang
mendorong al-Ra>ni>ri> untuk meluruskan pemahaman pengikut aliran wuju>diyyah
dengan cara apapun.
Al-Attas merangkum setidaknya ada lima point utama kritikan
al-Ra>ni>ri> terhadap ajaran Hamzah Fans}u>ri>, yakni:
1.
Pemikiran Hamzah mengenai Tuhan, alam, manusia, dan hubungan
antar mereka, dengan kata lain, adalah identik dengan pemikiran para filsuf,
Zoroaster, penganut paham inkarnasi dan para Brahman.
2.
Keyakinan Hamzah adalah panteistik, yakni dha>t Tuhan
itu imanen dan identik dengan alam, dan segala yang terlihat di ala mini adalah
Tuhan.
3.
Hamzah yakin, seperti para filsuf, bahwa Tuhan merupakan
wujud yang sederhana.
4.
Keyakinan Hamzah bahwa al-Qur’an adalah makhluk
5.
Hamzah yakin bahwa alam adalah kekal.
Ketika Aceh mengalami polemic mengenai paham wuju>diyyah antara al-Ra>ni>ri> dan para
pengikut Hamzah Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n al-Sumatra>ni>,
‘Abd al-Ra’u>f al-Sinkili>> berangkat ke Timur Tengah pada tahun
1052/1642.
Maka sangat dimungkinkan al-Sinkili> melihat dan mengalami secara langsung
polemik tersebut sampai adanya pengkafiran dan hukuman mati. Hal ini tentunya
memberi kesan yang kuat kepada al-Sinkili>, sehingga kepergiannya ke Timur
Tengah juga salah satunya adalah untuk belajar tentang masalah-masalah
tersebut. Al-Sinkili> menemukan orang yang tepat di Madinah untuk
membicarakan masalah itu yaitu dengan Ah}mad al-Qusha>shi> dan Ibra>him
al-Kura>ni>. Pergaulannya dengan ulama-ulama ini pada gilirannya membawa
al-Sinkili> menjadi salah satu eksponen neo sufisme di nusantara dan menjadi
salah satu pembela mazhab Ibn ‘Arabi>> (wah}dat al-wuju>d) meski dengan penafsiran-penafsiran baru yang
lebih ortodoks.
Berangkat dari konsep tauhid, al-Sinkili>> menjelaskan
hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, antara al-H{aqq dengan al-Khalq,
antara yang Esa dengan yang banyak, antara wa>jib
al-wuju>d dan al-mumkina>t.
Ia menjelaskan bahwa alam adalah nama untuk segala sesuatu selain al-H{aqq. Dibentuknya alam seperti ini
karena ia adalah sarana untuk mengetahui keberadaan Allah, maka keberadaan alam
itu juga merupakan bukti adanya Allah. Oleh karena itu hakekat alam adalah
wujud yang terikat pada sifat-sifat yang mumkina>t.
Dan jika dihubungkan dengan al-H{aqq,
maka alam itu bagaikan bayangan. Maka bayangan itu tidak memiliki wujud selain
wujud pemilik bayangannya. Wujud manusia (alam) merupakan bayang-bayang dari
wujud-Nya. Jadi mesti dipahami bahwa alam ini bukan benar-benar dha>t Allah dan berbeda dengan Allah.
Alam itu adalah baru karena ia tercipta dari pancaran wujud-Nya, ia bukan pula
wujud yang menyertai Allah melainkan wujud
yang diciptakan oleh-Nya dan berada pada tingkat di bawah-Nya.
Lebih lanjut ‘Abd al-Rauf al-Sinkili> menegaskan
bahwasanya hamba akan tetap menjadi seorang hamba betapapun ia naik pada
tingkat yang tinggi (taraqqi>),
dan Allah tetap Allah meskipun Ia turun (tanazzul).
Demikian juga hakekatnya juga tidak akan berubah, hakekat hamba adalah hamba
dan tidak akan berubah menjadi hakekat Allah, demikian pula sebaliknya walau
pada zaman azali sekalipun.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sheikh Yu>suf al-Maqassari> dalam Zubdat al-Asra>r untuk menegaskan
keesaan Tuhan. Pendapat terakhir yang disebutkan oleh al-Sinkili>> juga
senada dengan al-Ra>niri>. Kesamaan pendapat Sheikh Yu>suf al-Maqassari>
itu terjadi karena adanya hubungan guru-murid antara dirinya dengan al-Ra>ni>ri>.
Al-Maqassari> dalam karyanya, Safi>nat
al-Naja>h}, mengetengahkan silsilah tarekat Qa>diriyyah dari al-Ra>ni>ri>,
bahwasanya al-Ra>ni>ri> adalah sheikh dan gurunya.
Dalam hal ini posisi al-Sinkili> adalah moderat, ia
menunjukkan ketidaksepahamannya dengan pemahaman doktrin wuju>diyyah Hamzah
Fans}u>ri> dan Shams al-Di>n yang dianggapnya terlalu menekankan
imanensi Tuhan dalam alam (tashbi>h), dan seringkali terkesan
mengabaikan sifat transendensi-Nya (tanzi>h). Namun demikian,
al-Sinkili> juga tidak sependapat dengan al-Ra>ni>ri> yang
menentang ajaran tersebut secara radikal.
Untuk itulah al-Sinkili> memberikan semacam reinterpretasi atas doktrin
tersebut supaya dapat diterima oleh kalangan Muslim orthodox sekalipun. Sikap
seperti inilah yang telah mengukuhkan al-Sinkili> menjadi seorang ulama
santun yang sangat dihormati.
Sedangkan apa yang disampaikan oleh ‘Abd Alla>h bin ‘Abd
al-Qahha>r al-Bantani>> adalah senada dengan al-Sinkili>. Ia dalam
beberapa risalah yang ia tulis berbicara mengenai tajalli>, terutama
dalam karyanya, Masha>hid dan Fath} al-Mulu>k. Dalam kitab Fath}
al-Mulu>k, (kitab ini ditulis oleh ‘Abd Alla>h atas permintaan Sultan
Shifa>’ Zayn al-‘A<shiqi>n) ‘Abd Alla>h menerangkan tentang Martabat
Tujuh yang diformulasikan oleh al-Burhanpuri. Tetapi dalam kitab Masha>hid
(kitab yang juga ditulis atas permintaan sultan yang sama dan ditulis lebih
dulu dari kitab Fath} al-Mulu>k) ‘Abd Alla>h menerangkan mengenai tajalli>
al-H{aqq melalui alam menjadi empat alam sebagaimana yang telah dijabarkan
di atas.
‘Abd Alla>h menganggap bahwa tidak ada wuju>d kecuali
wuju>d Tuhan. Alam ini merupakan bayangan-Nya dan instrument untuk
bisa mengenal Tuhan. Wuju>d Tuhan dalam dha>t-nya tidak
bisa dikonsepsikan, Ia adalah wuju>d yang tidak ada padanannya dan
tak ada bandingannya. Adapun tajalli> yang digambarkan oleh ‘Abd Alla>h
adalah gambaran untuk mengetahui dari Yang Satu ke yang banyak (min
al-wah}da ila> al-kathrah).
‘Abd Alla>h juga menerangkan bahwa manusia adalah tempat tajalli>
Tuhan yang paling sempurna, karenanya ia juga menerangkan tentang posisi di
mana Tuhan bersemayam dalam tubuh manusia, hal ini diterangkannya dalam bentuk maqa>mat.
Konsep maqa>mat yang berbeda dengan penjelasan maqa>mat para
sufi sebelumnya, seperti al-Kalabadhi>, al-Qushayri>, al-Ghaza>li>,
dll.hal senada juga ia terangkan dalam penjelasannya mengenai ru>h}. Bagi
‘Abd Alla>h, ru>h} manusia itu memiliki sifat yang sama dengan
Tuhan. Ru>h} itu kekal, ia tidak diciptakan karena ia adalah Tuhan
itu sendiri, ia tidak tidur, dan ia tidak mati dan pengaruhnya meliputi seluruh
badan manusia. Ru>h} yang ada dalam diri manusia itu, bagi ‘Abd
Alla>h, tidaklah “terletak di” badan, tetapi ia “bergantung” pada badan.
Sehingga ketika ru>h} dicabut oleh Tuhan, maka manusia tidak lagi
menjadi manusia dan hal itu menjadi akhir sejarahnya sebagai manusia yang terdiri
dari ru>h}, jiwa dan badannya.
Meski ia berpandangan wuju>diyyah, tetapi dalam
beberapa hal ia sangat menekankan peran penting shari’ah. Hal ini dapat dilihat
dalam sistematika penulisan kitabnya, Masha>hid. Dalam kitab Masha>hid,
ia menerangkan dua hal, yakni teori dan praktik tasawuf. Dalam hal teori ia
menerangkan tentang tajalli> al-H{aqq dalam empat alam, hakikat
manusia ditinjau dari segi rohaninya (ru>h}), dan qalb. Sedangkan
dari segi praktik tasawuf ia mengajarkan juga dhikir-dhikir sebagai latihan
rohani seorang sa>lik yang hendak bersatu dengan Tuhannya.
Dalam menerangkan dhikir-dhikir tersebut ‘Abd Alla>h
mengingatkan para muridnya untuk tidak meninggalkan ajaran shari’at, terutama
shalat fard}u di awal waktu dan dilaksanakan dengan berjama’ah. Sehingga dengan
mempertimbangkan beberapa ajaran ‘Abd Alla>h di atas, penulis berkesimpulan
bahwa posisinya dalam diskursus wuju>diyyah di Nusantara serupa
dengan al-Sinkili, yakni sebagai ulama yang moderat, meskipun ia juga
dipengaruhi oleh Shams al-Di>n dan Hamzah Fans}u>ri> dalam hal
teori-teori wuju>diyyah-nya.
Meski ia mengajarkan dan mengamalkan ajaran wuju>diyyah, tetapi ia
masih menekankan adanya dualism antara Kha>liq dan Makhlu>q,
antara Tuhan dan Manusia, dan menyeimbangkan antara tashbi>h dan tanzi>h
Tuhan.
E.
Penutup
Nama ‘Abd
Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>> ini terasa masih asing di
telinga. Penulisan sejarah Banten hampir tidak pernah menyinggung namanya. Ada
semacam historiographical gap dalam sejarah Banten, khususnya dalam
tradisi intelektual di kesultanan Banten.
Lain halnya dengan apa yang terjadi di
Aceh, di kesultanan Banten paham wuju>diyyah dapat berkembang tanpa
adanya pengkafiran. Hal ini terjadi lantaran banyak sultan Banten yang cinta
terhadap ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keislaman. Di antara para
sultan Banten yang banyak menaruh perhatian kepada penulisan dan penyalinan
teks-teks Islam adalah Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’ Zayn
al-‘A<shiqi>n yang memerintah Banten tahun 1753 – 1773. Dan dalam
keterangan P. Voorhoeve, Sultan Abu> Nas}r Muh}ammad ‘A<rif Shifa>’
Zayn al-‘A<shiqi>n ini tak sekadar cinta terhadap ilmu, terutama dalam
bidang tasawuf, tetapi beliau juga turut melakukan dan mengamalkannya. Sang
Sultan mendapatkan ijazah tarekat Qa>diriyyah dari Muh}ammad bin
‘Ali> al-T}abari> al-H{usayni> al-Sha>fi’i>, salah seorang guru
dari ‘Abd Alla>h bin ‘Abd al-Qahha>r al-Bantani>>.
Meskipun teks Masha>hid
karya ‘Abd
Alla>h al-Bantani>> ini ditulis atas permintaan Sultan
Banten pada saat itu, namun penulisannya dilakukan dengan menggunakan bahasa
Arab. Penggunaan bahasa Arab pada saat itu hanya bisa dipahami oleh kalangan
elite dan ulama besar di Banten, sehingga hal ini menggiring asumsi saya bahwa
apa yang disampaikan oleh ’Abd Alla>h dalam teks itu bukanlah untuk konsumsi
masyarakat awam. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang dijelaskan dalam teks
adalah masalah wuju>diyyah, yang pada saat itu justru sedang menjadi
perbincangan hangat di Nusantara dan banyak ulama menganggapnya sesat, terutama
di Aceh.
’Abd Alla>h
memberikan penekanan bahwa apa yang dijelaskan dalam Masha>hid secara
umum merupakan penjelasan tentang tajalliya>t. Hal yang menarik dari
sistematika penulisan dalam teks Masha>hid itu adalah bahwa ajaran
’Abd Alla>h bukan hanya pada tasawuf teoretis tetapi juga mengajarkan
tasawuf praktis, sehingga bisa teks Masha>hid ini tak ubahnya seperti
buku daras mengenai paham wuju>diyyah dan praktiknya. Sebuah kitab
yang bisa dijadikan sebagai buku pegangan bagi para sa>lik yang ingin
melakukan perjalanan spiritual menuju Allah. Namun sayangnya, beberapa istilah
tasawuf tidak ia terangkan secara komprehensif, karenanya kitab ini akan susah
dimengerti bagi para murid atau para penempuh jalan spiritual tahap pemula
untuk mempelajarinya secara otodidak (apalagi konsumsi masyarakat umum) tetapi
harus mendapatkan bimbingan dari guru spiritual atau murshid. Dengan
kata lain,’Abd Alla>h dalam keryanya
tersebut hendak menggambarkan: 1) posisi Tuhan, alam, dan manusia; 2) hubungan
antara Tuhan dengan alam dan manusia; 3) cara mencapai kekekalan bersama Tuhan
(baqa>’ bi Alla>h).
Tuhan menurut ’Abd
Alla>h adalah dhat yang tak bisa dibandingkan dengan apapun dan tak
terkonsepsikan. tidak ada wuju>d kecuali wuju>d Tuhan. Alam ini merupakan bayangan-Nya dan
instrument untuk bisa mengenal Tuhan. Wuju>d Tuhan dalam dha>t-nya
tidak bisa dikonsepsikan, Ia adalah wuju>d yang tidak ada padanannya
dan tak ada bandingannya. Adapun tajalli> yang digambarkan oleh ‘Abd
Alla>h adalah gambaran untuk mengetahui dari Yang Satu ke yang banyak
(min al-wah}da ila> al-kathrah). Ia ada dengan dan
bersama dhat-Nya, tak seorang pun yang dapat mengetahui-Nya. Ia hanya dapat
diketahui dari mashhad-Nya (locus penampakan-Nya). Karena itu, perlu
diketahui bagaimana ia memanifestasikan diri-Nya dalam alam (macrocosmos) dan
manusia (microcosmos).
Meski ia berpandangan wuju>diyyah,
tetapi dalam beberapa hal ia sangat menekankan peran penting shari’ah. Hal ini
dapat dilihat dalam sistematika penulisan kitabnya, Masha>hid. Dalam
kitab Masha>hid, ia menerangkan dua hal, yakni teori dan praktik
tasawuf. Dalam hal teori ia menerangkan tentang tajalli> al-H{aqq dalam
empat alam, hakikat manusia ditinjau dari segi rohaninya (ru>h}), dan
qalb. Sedangkan dari segi praktik tasawuf ia mengajarkan juga
dhikir-dhikir sebagai latihan rohani seorang sa>lik yang hendak
bersatu dengan Tuhannya.
T.W. Arnold, The Preaching of Islam, A History of Propagation of the
Muslim Faith, (London : Luzac & Company, 1935), p. 363-364
Lihat, MC. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, 1200 – 2004, (Jakarta: Serambi, 2005), p. 28 – 29.
Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607 – 1636, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), p. 152
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Preliminary Statement on General
Theory of the Islamization of the Malay –
Indonesian Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), p. 13
AH. John. “Islam in Southeast Asia; Reflecting and new Directions”
dalam Indonesia, No, 19, Cornell Modern Indonesia Project, 1975, hlm. 45
Dahlan, Aziz, Penilaian Teologis atas Paham Wahdatul Wujud (Kesatuan
Wujud) Tuhan-Alam-Manusia dalam Tasawuf Syamsudin Samatrani. (Padang:IAIN
IB Press, 1999). hlm. 24.
Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi tentang Ajaran Tasawuf ‘Abd al-Shamad
al-Palembani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 22
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning…, hlm. 84.
Alwi Shihab, Islam Sufistik …, hlm. 148, dan Oman Fathurrahman,
Tanbih al-Masyi…, hlm. 25.
Suntingn teks Zina>t
al-Muwah}h}idi>n dalam Hadi WM, Abdul, Hamzah
Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. (Bandung: Mizan, 1995). hlm.
84 – 86.
al-Sumatrani>, Jawhar
al-H{aqa>’iq, hlm. 251, bandingkan dengan konsep ahadiyat Hamzah Fansuri
dalam Shara>b al-‘A<shiqi>n,
hlm. 196.
Lihat al-Sumatrani>, “Risa>lat al-Tabayyun
al-Mula>h}az}a>t al-Muwah}h}idi>n wa al-Mulh}idi>n fi> Dhikr
Alla>h,” dalam CAO Van Niewenhuijze, Samsu’ l-Din van Pasai, Bijdrage Tot De
Kennis Der Sumatraanche Mystiek, (Leidien : EJ Briil, 1945), hlm. 269.
Dalam Jauhar al-Daqa>’iq hanya dijelaskan lima martabat yang martabat
yang pertama. Dan martabat yang kelima mempergunakan istilah ‘a>lam al-shaha>dah dan bukan ‘a>lam
al-mitha>l. Lihat Jawhar
al-H{aqa>’iq, hlm. 245 – 270.
“Maka sebut mereka itu bahwa i’tikad kami bahwasanya Allah
Ta’ala itu diri kami dan wujud kami, dan kami diri-Nya dan wujud-Nya. Dan lagi
pula kata mereka itu bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam….. Dan lagi pula
kitabnya yang bernama Khirqah dengan sumpahnya dalam kitab itu demikian
bunyinya : “wa Alla>h bi Alla>h wa
kala>m Alla>h”, insan itulah Allah dengan tiada syak dalamnya dari
karena insan itulah libas yang kesudahan. Maka libas dan empunya libas sewujud
dan bersuatu jua. Dan barang siapa mengenal dengan makrifah ini, maka sampailah
ia dengan makrifah kunhi dzat Allah dan wujud-Nya, seperti firman Allah, “wa fi> anfusikum afala> tubs}iru>n”
yakni bahwasanya wujud insan itulah wujud Allah dan wujud Allah itulah wujud
insan.
Maka dari perdebatan itu Nu>r
al-Di>n al-Ra>ni>ri> menjawab :”Hayawanat dan nabatat dan jamadat
dan najasat sekaliannya adalah Allah …. Dan lagi jikalau benar seperti kata
mulhid itu, niscaya adalah segala barang yang kita makan dan barang yang kita
minum dan barang yang kita tunu ke dalam api sekaliannya itu Allah. Dan jikalau
kita sumpah akan seseorang, niscaya gugurlah sumpah itu akan Allah. Dan jikalau
kita bunuh dan kita cincang akan seseorang manusia atau lainnya, niscaya adalah
yang kita bunuh dan yang kita cincang itu akan Allah jua.” Lihat Fath} al-Mubi>n, seperti dikutip
dalam Daudi, Allah dan Manusia…, hlm.
275 – 276.
Menurut Rinkes yang mengkaji riwayat al-Sinkili menyatakan
bahwa kemungkinan besar al-Sinkili meninggalkan Aceh pada tahun 1642. lihat,
Azra, Jaringan Ulama…, hlm. 191.
Lihat, al-Sinkili>, “Tanbi>h al-Ma>shi>”, hlm.
98:
وقل واعتقد
ان
العبد
عبد
وان
ترقى
والرب
رب
وان
تترل
والحقائق
لاتنقلب
اعنى
حقيقة
العبد
لاتصير
حقيقة
الرب
وبالعكس
ولو
فى
الازلى.